Ikhbar.com: Kiprah dan peran pondok pesantren dalam memajukan peradaban bangsa tidak bisa diragukan lagi. Melalui pesantren, generasi masa depan Indonesia tidak hanya ditempa tentang kecakapan beragama, tetapi juga dalam tata laku sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Wakil Presiden (Wapres) RI, KH Ma’ruf Amin menyampaikan, di bidang keagamaan, pesantren kian dibebani tuntutan dan tanggung jawab yang lebih besar. Pesantren tidak cukup mendidik para santrinya hingga bisa membaca kitab kuning, tetapi juga harus mampu menjadi perumus hukum-hukum Islam secara lebih kontekstual.
“Karena ada banyak masalah-masalah baru yang tidak ditemukan di dalam kitab-kitab muktabarah (khazanah klasik),” kata Kiai Ma’ruf, saat menyampaikan amanat dalam Peringatan Haul Ke-34 KH Aqil Siroj, serta Haflah Tasyakkur Khatmil Qur’an & Juz Amma di Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat, Sabtu, 26 Agustus 2023.
Baca: Penguatan Ekonomi Syariah, Wapres: Pesantren Jangan Tidur
Sekarang ini, lanjut Wapres, ada banyak yang perlu diijtihadi atau dirumuskan hukum-hukumnya secara lebih saksama, baik di bidang agama, sosial, budaya, serta perkembangan-perkembangan dalam bidang lainnya.
“Atau, ada juga permasalahan-permasalahan lama, tetapi mengalami proses pembaruan. Misalnya, jual beli,” kata Kiai Ma’ruf.
Dalam perkara qabd (proses penerimaan aset transaksi) pada sistem jual beli, ada perkara yang harus dilakukan pembaruan pemahaman dan hukum. Semula praktik jual beli hanya bisa dilakukan dengan jalan bertemu langsung antara penjual dan pembeli, atau melalui perantara wakil, tetapi saat ini telah tersedia banyak media transaksi yang lebih praktis, di antaranya melalui transaksi secara daring.
“Sekarang bil-online, pengertian qabd-nya bagaimana? Pengertiannya sudah harus diubah (menyesuaikan),” katanya.
Menurut Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masa Khidmat 2015–2018 tersebut, ijtihad atau pembaruan hukum dalam fikih bukan merupakan sesuatu yang tabu.
“Bahkan, kata Imam Al-Haramain, kebanyakan syariat terlahir dari ijtihad. Sedangkan nash (teks sumber utama)-nya, tidak sampai sepersepuluh atau 10 persen,” ungkapnya.
“Karena, nash, jumlahnya terbatas. Al-Qur’an tidak bertambah, tetap 30 juz. Sedangkan peristiwa-peristiwa terus bergulir,” sambungnya.
Transmisi ulama salaf dan kontemporer
Oleh karena itu, Kiai Ma’ruf menegaskan, peran pesantren berikutnya adalah sebagai transmiter (penyambung) antara pandangan ulama-ulama terdahulu dengan pemikir kontemporer.
“Kalau enggak (dihubungkan), nanti bisa terjadi korslet (korsleting). Seperti halnya listrik, sebelum masuk ke rumah, harus melalui transmisi. Baru dibagi. Tujuannya untuk mencegah terjadinya kebakaran,” katanya.
“Makanya banyak orang kebakaran, pendapat-pendapat muncul menghantam pandangan-pandangan ulama terdahulu, karena dia tidak melalui transmisi, tidak belajar di pesantren,” sambung Kiai Ma’ruf.
Begitu juga sebaliknya, sebagian orang yang menganggap bahwa persoalan yang hadir dewasa ini bukan bagian dari persoalan agama hanya karena alasan tidak pernah terbahas oleh ulama-ulama di masa lampau.
Berbeda dengan kalangan santri, Kiai Ma’ruf menerangkan, dalam sejarahnya, pesantren memiliki role model (teladan) para ulama yang menyambungkan pemikiran klasik dan kontemporer. Oleh karena itu, di pesantren dikenal istilah syarh (penjelasan dan penjabaran dari karya-karya sebelumnya).”
“Seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, beliau tidak banyak mengarang kitab, tetapi menyarahi dan menyambungkan sehingga tidak terjadi korslet,” kata Kiai Ma’ruf.
“Contohnya, Syekh Nawawi pernah menjelaskan tentang pendapat bahwa tasawuf lebih condong ke istilah jabr (pasrah/penyerahan diri), tetapi beliau syarahi bahwa itu jabr yang dimaksud adalah dari sisi batinnya, bukan lahirnya. Lahirnya kita tetap (ikhtiar). Jadi, tidak salah,” sambung Kiai Ma’ruf.
Baca: Analogi Masuk Akal Ikhtiar dan Tawakal ala Buya Said Aqil
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Periode 2015–2020 itu juga mencontohkan saat seseorang memahami keterangan Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari tentang pentingnya menjaga bashirah (mata hati).
“(Ijtihad) kesungguhanmu pada apa-apa yang telah Allah Swt jamin bagimu, dan kelalaianmu pada apa-apa yang Dia tuntut darimu, merupakan bukti atas lenyapnya bashirah darimu.”
“Jadi, kalau salah memahami, bisa saja beranggapan, ya sudah, ibadah saja. Jangan urusan dunia lagi, tinggalkan saja,” kata Kiai Ma’ruf.
Tetapi, lanjut Kiai Ma’ruf menyarahi bahwa yang dimaksud kategori keliru itu ketika seseorang mengupayakan sesuatu yang sudah pasti, seperti rezeki, hingga melupakan ibadah.
“Namun, kata Syekh Nawawi, kalau mencari rezeki dengan hak-hak Allah Swt tetap ditunaikan, tidak ada yang dilalaikan, itu tidak menunjukkan dalil mata hatinya mati. Bahkan, itu tergolong jihad besar,” ungkap Kiai Ma’ruf.
“Oleh karena itu, menurut saya, pesantren punya peran yang sangat strategi,” pungkasnya.