Ikhbar.com: Beberapa waktu lalu, luar angkasa menghadirkan salah satu pertunjukan terbaiknya, yaitu hujan meteor perseid. Parade meteor ini dimulai pada 14 Juli dan mencapai puncaknya pada 11-13 Agustus 2023. Fenomena ini terjadi ketika bumi melewati jejak es, batu, dan debu dari komet swift-tuttle.
Komet tersebut ditemukan pada 1862 oleh astronom amatir, Horace Tuttle dan Lewis Swift. Konon, benda langit itu memerlukan 133 tahun untuk sekali putaran mengelilingi matahari. Waktu terbaik untuk melihatnya adalah sejak tengah malam hingga sebelum fajar.
Pengamat yang berada di tempat gelap dan jauh dari cahaya kota, dapat melihat hingga 100 meteor/jam.
“Sementara di kota, mungkin tidak akan terlihat satu pun,” ungkap laporan NASA, dikutip dari Time, Rabu, 16 Agustus 2023.
Sejak zaman kuno, manusia telah terpesona dengan keindahan langit. Pemandangan bintang di malam hari, peredaran bulan yang tetap setia, dan gerhana matahari yang misterius telah menciptakan dampak mendalam pada kebudayaan. Benda-benda cakrawala seperti matahari, bulan, dan bintang telah menjadi simbol spiritualitas, nasib, dan petunjuk navigasi dalam berbagai peradaban manusia.
Struktur monumental, seperti Piramida Mesir dan observatorium kuno, Stonehenge di Inggris menggambarkan bagaimana benda-benda langit telah mengilhami penciptaan rancang-bangun yang bertahan hingga kini.
Inspirasi Al-Qur’an
Di sisi lain, penciptaan langit dan bumi menggambarkan kebesaran Allah yang luar biasa. Bahkan di langit terdapat galaksi-galaksi yang tak terhitung jumlahnya. Tiap-tiap galaksi memiliki bintang, planet, dan benda angkasa lainnya dengan bilangan hingga berjuta-juta.
Tanda kebesaran Allah Swt melalui penciptaan langit dan bumi, serta variasi warna kulit dan bahasa manusia tertuang dalam QS. Ar-Rum: 22. Pesan-pesan itu mendorong manusia untuk merenungkan keajaiban dan ketertiban yang ada dalam ciptaan-Nya. Allah Swt berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berilmu.”
Sejumlah ayat dalam Al-Quran yang membahas tentang kemegahan cakrawala pun telah mengilhami ilmuwan Muslim abad pertengahan untuk mengeksplorasi pengetahuan dan mengungkap segala rahasia di dalamnya. Berkat itu pula, ilmu astronomi Islam mencapai puncak kejayaannya. Tokoh-tokoh seperti Al-Farghani, Al-Battani, dan Al-Biruni memiliki peran penting dalam pengembangan keilmuan tersebut.
Para astronom Muslim
Menurut Encyclopedia Columbia, Al-Farghani adalah seorang astronom Muslim yang sangat berpengaruh. Nama lengkapnya, Abu Al-Abbas bin Muhammad bin Kathir Al-Farghani. Di Barat, para ahli astronomi abad pertengahan mengenalnya dengan sebutan Al-Farghanus. Al-Farghani berasal dari Farghana, Transoxania, sebuah kota di tepi sungai Sardaria, Uzbekistan.
Karya terpentingnya, yang ditulis antara tahun 833 dan 857 adalah Elements. Buku ini merupakan ringkasan astronomi Ptolemeus yang menyeluruh, mudah dibaca, dan nonmatematis.
“Buku yang beredar dalam beberapa edisi Latin ini dipelajari secara luas di Eropa dari abad ke-12 hingga abad ke-17. Dua risalah tentang astrolab ciptaannya juga masih bertahan,” tulis mereka.
Sedangkan Muhammad bin Jabir Al-Harrani Al-Battani, yang juga dikenal sebagai Albategnius dalam bahasa Latin, ia adalah seorang ahli astronomi dan matematikawan Arab pada abad ke-9. Karya-karyanya termasuk Zij al-Sabi (The Tables of the Seasons) dan Al-Zij al-Mumtahan (The Selected Tables) menghadirkan tabel perhitungan yang akurat dan menjadi landasan penting dalam ilmu astronomi.
Baca: Mengenal Ismail Al-Jazari, Ilmuwan Muslim Pencipta Robot Pertama di Dunia
Al-Battani juga dikenal telah memperbaiki nilai-nilai yang berlaku untuk menghitung panjang tahun dan musim, serta peredaran tahunan titik peralihan ekuinoks dan kemiringan eklipstik. Ia menunjukkan bahwa posisi apogee Matahari, yaitu titik terjauh dari bumi bersifat variabel. Dan menurut dia, gerhana matahari cincin (sentral namun tidak lengkap) adalah hal yang mungkin terjadi.
Berbeda lagi dengan Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni. Ia merupakan seorang polymath Persia pada abad ke-11. Al-Biruni dikenal sebagai ilmuwan yang mendalami berbagai topik, termasuk astronomi. Dia membahas gerhana matahari dan bulan, serta peredaran bumi dan bulan, memberikan sumbangan penting dalam pengetahuan astronomi dan ilmu pengetahuan secara umum.
Dalam karya monumentalnya, Al-Qānūn al-Masʿūdī (The Mas’udi Canon), Al-Biruni telah berhasil mengumpulkan segala pengetahuan astronomi dari sumber-sumber seperti Almagest karya Ptolemy dan Tabel Berguna, sambil memberikan sentuhan aslinya pada hampir setiap bab.
“Ia meramu teknik Aljabar baru untuk menyelesaikan persamaan derajat tiga, membedakan dengan cermat antara pergerakan apogee matahari dan gerakan presesi, serta menerapkan berbagai teknik matematika lainnya untuk mencapai tingkat ketepatan dan kemudahan yang jauh lebih tinggi dalam tabulasi hasil astronomi,” pungkas ensiklopedia itu.