Tafsir ‘Zaharal Fasad’ ala Mahfud MD dalam Debat Pemilu 2024

Cawapres nomor urut 3 Mahfud MD menyampaikan pandangannya saat Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Ahad (21/1/2024). ANTARA/M Risyal Hidayat

Ikhbar.com: Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 3, Mohammad Mahfud Mahmodin atau akrab disapa Mahfud MD menyebut salah satu penyebab kerusakan lingkungan di Indonesia ialah industrialisasi.

Hal itu disampaikan Mahfud MD saat memaparkan visi-misi dalam Debat Pemilu 2024 yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, pada Ahad, 21 Januari 2024, malam.

“Sumber daya alam menjadi sumber sengketa di antara rakyat dengan rakyat, antara pemerintah dengan pemerintah,” tegas pendamping Calon Presiden (Capres) Ganjar Pranowo tersebut.

Dalam kesempatan tersebut, Mahfud MD mengingatkan semua pihak dengan mengutip QS. Ar-Rum: 41. Allah Swt berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ia mengatakan, persoalan tersebut memang tidak mudah. Namun, setidaknya ada dua cara untuk menyelesaikannya, yakni komitmen dan keberanian.

Baca: Asal-usul Ungkapan ‘Petani Penolong Negeri’ yang Dikutip Gus Imin dalam Debat Cawapres

Ada, tapi tak tampak

Syekh Mutawalli As-Sya’rawi dalam Khawatir as-Sya’rawi Haula al-Qur’an al-Karim menjelaskan, lafaz “zahara” pada ayat tersebut memiliki makna “bana” dan “wadhaha” atau telah jelas, tetapi terkadang tidak terlihat.

“Selama Allah mengatakan ayat tersebut, maka kerusakan itu ada dan telah terjadi, tetapi para perusak menutup-nutupinya sehingga ia bagaikan api dalam sekam dan tiba-tiba dapat merusak masyarakat,” jelas Syekh As-Sya’rawi.

“Kerusakan itu terkadang tidak terlihat tapi efek negatifnya sangat dirasakan. Contohnya, gempa bumi yang menguak kecurangan yang dilakukan para insinyur bangunan,” tegasnya.

Pada saat gedung selesai dibangun, jelas Syekh As-Sya’rawi, kerusakan yang diakibatkan tidak sesuai dengan bestek (Peraturan dan syarat-syarat pelaksanaan suatu pekerjaan bangunan atau proyek) tidak terlihat, baik karena keteledoran atau lupa.

“Tetapi pada saat gempa terjadi, terkuaklah kebobrokan mental insinyur yang ingin mengambil untung besar dengan mengabaikan keselamatan penghuni bangunan,” katanya.

Ia menegaskan, saat kecurangan mewabah dan menyebar, Allah pasti akan memperlihatkan efeknya kepada manusia.

“Pada saat itu tidak seorang pun yang dapat melawan efek dari kerusakan yang ditimbulkan. Allah sengaja campur tangan untuk membuka kedok para perusak dan menimbulkan efek dari apa yang mereka kerjakan,” jelasnya.

Sementara itu, Syekh Yusuf Al-Qaradawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fi Syuri’ah al-Islam menerangkan, ayat tersebut bisa diartikan bahwa penyebab terjadinya kerusakan lingkungan bersumber dari perbuatan manusia berperilaku korup.

Syekh Al-Qaradawi menjelaskan, kata “fasad” dalam ayat tersebut tidaklah dimaknai secara maknawi, yakni berupa kemaksiatan, kemungkaran, dan perbuatan keji. Namun, lebih kepada bentuk kongkret kerusakan itu sendiri yang disebabkan tindakan manusia.

“Maka secara sederhana, ‘fasad‘ yang dimaksud dalam QS. Ar-Rum: 41 adalah akumulasi dari tindakan non-etis manusia terhadap lingkungan secara berulang-ulang,” katanya.

Baca: Al-Qur’an Bicara Energi Hijau, Kata Kunci Debat Cawapres Andalan Gibran

Etika manusia terhadap alam

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syekh Al-Qaradawi juga mencantumkan pendapat Imam Al-Alusi dan Imam Ibnu ‘Asyur. Keduanya sepakat bahwa kata “fasad” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah hilangnya kebermanfaatan dan munculnya krisis-krisis di bumi, baik berupa krisis pangan nabati maupun hewani.

Sedangkan kalimat “liyudziqahum ba’da alladzi ‘amilu,” lanjut Syekh Al-Qaradawi, menunjukkan bahwa Tuhan tidak akan menghukumi manusia sepenuhnya dari apa yang telah mereka perbuat, melainkan hanya menimpakan separuhnya agar manusia merasakan dampak dari apa yang mereka lakukan.

Di akhir penjelasannya, ia mengatakan bahwa sesungguhnya kerusakan alam disebabkan rusaknya etika manusia. Menurutnya, alam tidak akan menjadi baik sebelum manusia memiliki etika yang baik terhadapnya.

“Dan manusia tidak akan memiliki etika yang baik kecuali kedua hal yang dimilikinya baik, yakni akal dan hati. Maka benarlah Tuhan dalam QS. Al-Ra’af:11, bahwa Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai kaum itu berinisiasi mengubah dirinya sendiri,” tandasnya.

Sedangkan menurut ulama ahli tafsir asal Indonesia, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan, kata “zahara” pada mulanya berarti terjadinya sesuatu di permukaan bumi.

“Karena di permukaan, maka dia menjadi tampak dan terang serta dapat disaksikan dengan jelas. Lawan kata ‘zahara‘ adalah bathana, yang berarti terjadinya sesuatu di perut bumi sehingga tidak tampak,” ungkapnya.

QS. Ar-Rum: 41 menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya “fasad” itu sendiri. Hal itu, menurut Prof. Quraish, dapat diartikan bahwa keduanya menjadi arena kerusakan.

“Misalnya dengan terjadinya pembunuhan dan perampokan di kedua tempat itu. Atau bisa juga berarti bahwa darat dan laut sendiri telah mengalami kerusakan, ketidakseimbangan, serta kekurangan manfaat. Laut telah tercemar sehingga ikan mati dan hasil laut berkurang. Daratan semakin panas sehingga terjadi kemarau panjang. Alhasil, keseimbangan lingkungan menjadi kacau,” jelas Prof. Quraish.

Penjelasan itulah, menurut Prof. Quraish, yang mengantar beberapa ulama kontemporer memahami ayat tersebut sebagai isyarat tentang kerusakan lingkungan.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.