Ikhbar.com: Budaya kerja di Jepang telah lama menjadi simbol dari semangat disiplin, ketepatan waktu, dan etos kerja tanpa lelah. Di negeri Matahari Terbit ini, dedikasi terhadap pekerjaan hampir menjadi identitas nasional. Hal itu tercermin dari budaya lembur yang tinggi dan kebiasaan pulang paling akhir.
Di setiap kantor, dedikasi tersebut membentuk pola yang unik, yakni nilai ketepatan waktu dihargai sama tingginya dengan kecepatan meraih hasil.
Budaya kerja ekstrem di Jepang memang menawarkan kekuatan yang patut diacungi jempol, mulai dari kegigihan, fokus tinggi, hingga dedikasi tanpa batas terhadap pekerjaan. Karyawan Jepang dikenal sebagai pekerja yang tak kenal lelah, mereka selalu siap mengutamakan tugas dan mengesampingkan kepentingan pribadi demi mencapai target perusahaan.
Prinsip itulah yang membuat Jepang mampu bersaing di kancah ekonomi global, dengan produktivitas dan kualitas hasil kerja yang terjaga. Namun, di balik produktivitas yang mengagumkan, tersembunyi berbagai tantangan, mulai dari keseimbangan hidup hingga kesehatan mental.
Baca: Warga Jepang Workaholic Parah! Ajakan Pemerintah Kurangi Jam Kerja Jadi 4 Hari Seminggu Sepi Peminat
Fenomena karoshi
Bagi banyak pekerja Jepang, tekanan untuk terus berada di kantor hingga larut malam, bahkan mengorbankan akhir pekan, sering kali mengaburkan batas antara kehidupan profesional dan personal. Akibatnya, risiko kesehatan fisik dan mental meningkat. Hal itu tercermin pada fenomena “karoshi” atau kematian akibat kerja berlebihan menjadi alarm bagi masyarakat akan pentingnya keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi.
Fenomena karoshi telah menjadi momok di balik budaya kerja Jepang yang ekstrem. Kasus-kasus ini muncul akibat tekanan untuk bekerja di luar batas fisik dan mental. Tak jarang, para pekerja mengalami sejumlah masalah kesehatan, seperti serangan jantung, stroke, serta gangguan mental yang serius.
Kasus ini bukan hanya statistik semata, tetapi sebuah kenyataan yang menggugah perhatian dunia. Salah satu kasus paling terkenal adalah kematian seorang karyawan muda di perusahaan Dentsu bernama Matsuri Takahashi. Dikutip dari The Japan Times, ia meninggal pada 2015 setelah bekerja lembur berjam-jam hingga lebih dari 100 jam dalam sebulan.
Kasus ini menjadi sorotan nasional setelah diangkat media Jepang dan internasional. Kejadian tersebut menunjukkan betapa rentannya kesehatan mental dan fisik pekerja dalam budaya kerja yang menuntut totalitas tanpa batas.
Peristiwa tragis ini mendorong pemerintah Jepang untuk mereformasi aturan ketenagakerjaan, terutama dalam menyeimbangkan produktivitas dengan kesejahteraan karyawan.
Meskipun kesadaran akan mental health mulai meningkat, perubahan nyata masih terhambat budaya kerja yang belum sepenuhnya mendukung keseimbangan hidup tersebut.
Baca: Tumbuh Kembang Islam di Jepang
Pandangan Al-Qur’an
Dalam Islam, prinsip kerja keras telah disinggung dalam QS. At-Taubah: 105. Allah Swt berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Bekerjalah! Maka, Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kamu akan dikembalikan kepada (Dzat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kamu apa yang selama ini kamu kerjakan.”
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim menegaskan bahwa ayat tersebut berisi perintah Allah Swt kepada manusia tentang pentingnya menerapkan prinsip kerja keras dalam bekerja. Akan tetapi, di sisi lain, QS. At-Taubah: 105 juga menjelaskan tentang konsekuensi amal manusia selama di dunia. Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Allah Swt, Rasul, dan orang-orang beriman akan melihat semua amal perbuatan yang dilakukan.
Nantinya, kata Imam Ibnu Katsir, manusia akan dikembalikan kepada Allah Swt Sang Maha Mengetahui hal gaib dan nyata. Semua yang dikerjakan akan dilaporkan kepada-Nya.
Lebih lanjut, Imam Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa ayat tersebut berisi tentang peringatan Allah Swt kepada orang-orang yang durhaka. Segala amal mereka, baik maupun buruk, akan ditampilkan di hadapan-Nya, Rasul, dan orang-orang beriman. Hal ini diyakini pasti terjadi pada hari kiamat, sebagaimana firman Allah Swt di ayat lain yang menjelaskan tidak ada satupun hal yang tersembunyi dari-Nya.
Sementara itu, Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al Wajiz menjelaskan bahwa ayat tersebut berisi tentang perintah umat Muslim untuk bisa bekerja dalam bidang apa saja asalkan bisa mendatangkan manfaat.
Ia menilai, umat Muslim yang bekerja dengan baik akan mendapat penghargaan dari Allah Swt. Begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin akan menyaksikan dan menilai pekerjaan mereka.
Penjelasan yang sedikit berbeda diurakan KH Abdul Malik Amrullah atau Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar. Menurutnya, ayat tersebut menjelaskan tentang perintah untuk terus melakukan amal yang baik. Pasalnya, kata dia, nilai kehidupan ditentukan amalan yang bermutu. Maka tak boleh ada umat Muslim kosong waktunya dari amal.
Buya Hamka menjelaskan, amal adalah pekerjaan, usaha, perbuatan, dan keaktifan hidup. Maka selain beribadah, orang yang beriman juga harus bekerja dan berusaha. Terutama sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Sebagaimana firman Allah tentang etos kerja pada QS. Al-Isra: 84. Allah Swt berfirman:
قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.’ Maka, Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”
Maka, kata Buya Hamka, QS. At-Taubah: 105 merupakan motivasi dari Allah agar orang-orang mukmin bersemangat beramal dan bekerja. Ia menegaskan, melalui ayat ini, Allah melarang umat Muslim untuk malas dan membuang-buang waktu.
Berpegang pada penjelasan pada mufasir tersebut, dapat disimpulkan bahwa QS. At-Taubah: 105 mengajarkan bahwa setiap amal perbuatan, termasuk kerja keras, tidak hanya dilihat manusia, tetapi juga Allah Swt Yang Maha Mengetahui segala hal, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memiliki niat yang ikhlas dan tulus dalam setiap pekerjaan. Niat yang baik akan memastikan bahwa pekerjaan dilakukan dengan penuh tanggung jawab, etika yang benar, dan amanah. Dengan demikian, pekerjaan tidak hanya bermanfaat bagi sesama, tetapi juga menjadi amal saleh yang bernilai pahala di sisi Allah.
Jika melihat semangat kerja keras yang dimiliki masyarakat Jepang, maka sepintas sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong bekerja dengan sungguh-sungguh. Meski begitu, Islam menekankan bahwa niat dalam bekerja haruslah untuk mencari rida Allah, bukan semata-mata untuk pencapaian duniawi.
Baca: Mengakrabi Ramadan nan Lengang di Jepang
Keseimbangan dunia dan akhirat
Islam mengajarkan pentingnya menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat. Bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan duniawi memang dianjurkan, tetapi itu tidak boleh mengabaikan persiapan untuk kehidupan setelah kematian.
Prinsip tersebut tertuang dalam QS. Al-Jumu’ah: 10. Allah Swt berfirman:
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut berisi perintah untuk melanjutkan jual beli setelah salat ditunaikan. Pendapat tersebut kemudian diperkuat dengan hadis yang menyebutkan barang siapa yang melakukan jual beli setelah salat Jumat, maka Allah akan memberikan ia keberkahan sebanyak 70 kali.
Seorang Muslim harus menjaga keseimbangan di antara keduanya, yakni dengan bekerja untuk kehidupan di dunia, tetapi juga berusaha untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat melalui ibadah, amal saleh, dan menjaga hubungan dengan Allah. Dengan demikian, dunia dan akhirat saling melengkapi, bukan saling bertentangan.
Selain itu, keseimbangan juga diperlukan antara bekerja keras dan menjaga waktu untuk istirahat, keluarga, ibadah, dan kesehatan fisik. Bekerja tanpa henti dapat menguras tenaga dan mengabaikan kebutuhan spiritual serta fisik.
Islam mengajarkan untuk tidak hanya fokus pada pekerjaan, tetapi juga memberi waktu untuk istirahat yang cukup, berinteraksi dengan keluarga, serta meluangkan waktu untuk ibadah dan menjaga kesehatan tubuh. Semua ini penting agar seseorang dapat menjalani hidup dengan penuh berkah, baik di dunia maupun akhirat.
Islam menentang budaya “gila kerja” yang mengabaikan nilai-nilai spiritual dan kesejahteraan pribadi. Sebab bekerja tanpa batasan dinilai dapat menghalangi seseorang untuk memenuhi hak-hak spiritual, keluarga, dan tubuh.
Selain itu, Islam mengajarkan bahwa keseimbangan antara kerja dan kehidupan akhirat adalah kunci kebahagiaan sejati. Hal itu dapat diwujudkan dengan memberi ruang untuk ibadah, istirahat, dan waktu bersama keluarga.
Prinsip membagi waktu antara bekerja dan ibadah sangat penting dalam Islam. Seorang Muslim harus memastikan bahwa usaha duniawi tidak membuatnya lalai dari tanggung jawab spiritual. Waktu untuk ibadah, seperti salat, zikir, dan belajar agama, semuanya harus tetap diutamakan meskipun tengah berada dalam kesibukan bekerja.
Dengan demikian, meski berusaha keras dalam pekerjaan, diharapkan seseorang tetap menjaga kedekatannya dengan Allah Swt dan tidak mengabaikan kewajiban spiritualnya. Keseimbangan ini memastikan hidup yang penuh berkah dan kebahagiaan sejati.
Terakhir, umat Muslim perlu menerapkan konsep “work-life balance.” Pasalnya, keyakinan tersebut dalam Islam tercermin sebagai keseimbangan antara kebutuhan dunia dan akhirat.
Islam mengajarkan bahwa mengejar duniawi harus sejalan dengan memenuhi kebutuhan spiritual. Dengan menjaga keseimbangan ini, seseorang tidak hanya sukses di dunia, tetapi juga mendapatkan ketenangan batin dan kedekatan dengan Allah Swt. Sehingga, hidupnya tidak hanya produktif secara fisik, tetapi juga bermakna secara spiritual, mencapai harmoni yang membawa kebahagiaan sejati.