Ikhbar.com: Halloween kini telah menjadi bagian dari budaya pop yang mendunia, bahkan bagi sebagian kecil kalangan Muslim. Perayaan ini berawal dari ritual pagan di Eropa dan berkembang menjadi acara tahunan dengan ciri khas kostum unik, permen, serta dekorasi meriah.
Merayakan Halloween perlu dipertimbangkan oleh umat Muslim mengingat latar budaya dan nilai-nilai yang berbeda dengan ajaran Islam. Dengan pendekatan yang moderat, pemahaman akan posisi Islam terkait perayaan seperti Halloween dapat membantu individu untuk bersikap bijak dalam berinteraksi sosial tanpa mengabaikan identitas keislaman.
Baca: Mengunjungi Gereja di Afrika Selatan yang Kini Jadi Markas Gerakan Pro-Palestina
Asal mula Halloween
Halloween berasal dari tradisi kuno kaum Celt yang disebut Samhain, perayaan yang menandai akhir musim panas dan awal musim dingin. Saat itu diyakini sebagai masa peralihan ketika roh-roh dari dunia lain datang ke dunia manusia. Orang Celt menyambut roh-roh ini dengan persembahan dan mengenakan kostum menyerupai makhluk gaib agar terlindungi dari roh-roh jahat.
Seiring waktu, tradisi ini diadopsi umat Kristen sebagai All Hallows’ Eve atau malam Hari “Semua Orang Kudus” pada 31 Oktober, yang dilanjutkan “Hari Semua Orang Kudus” pada 1 November. Halloween kemudian berkembang menjadi perayaan sekuler di Eropa dan Amerika yang berunsur hiburan, seperti kostum seram dan cerita horor. Kini, Halloween menjadi acara populer bagi banyak orang untuk berkreasi dengan kostum.
Meskipun Halloween kini lebih bernuansa hiburan, bagi seorang Muslim penting untuk tetap memikirkan dampak dari keterlibatan dalam perayaan ini. Kostum yang meniru makhluk gaib atau simbol tertentu dapat menimbulkan konsekuensi dalam perspektif Islam.
Baca: Cerita para Nonis Turut Berpuasa Ramadan di Arab Saudi
Anjuran menjaga identitas dalam Islam
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga identitas keislaman. Nabi Muhammad Saw bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa peniruan yang menandakan afiliasi atau pengakuan terhadap keyakinan atau perilaku non-Islam sebaiknya dihindari.
Para ulama menafsirkan hadis ini dari berbagai sudut pandang. Dalam Aunul Ma’bud, Imam Abi Al Thayib Muhammad Syamsi Al Haq Al Azhim Abadi dan Imam Syamsuddin bin Qayyim Al Jauziyah menjelaskan:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ: قَالَ الْمُنَاوِيُّ وَالْعَلْقَمِيّ: أَيْ تَزَيَّى فِي ظَاهِره بِزِيِّهِمْ، وَسَارَ بِسِيرَتِهِمْ وَهَدْيهمْ فِي مَلْبَسهمْ وَبَعْض أَفْعَالهمْ اِنْتَهَى
“Maksud redaksi ‘Siapa yang menyerupai suatu kaum’ menurut pendapat Munawi dan Al-Alaqami adalah berbusana seperti busana mereka, berjalan, bertingkah seperti mereka.” Ini menunjukkan bahwa meniru bukan hanya dalam berpakaian, tetapi juga dalam gaya hidup dan perilaku yang mencerminkan identitas suatu kaum.
Kemudian, lebih lanjut dijelaskan:
وَقَالَ الْقَارِي: أَيْ مَنْ شَبَّهَ نَفْسه بِالْكُفَّارِ مَثَلًا مِنْ اللِّبَاس وَغَيْره، أَوْ بِالْفُسَّاقِ أَوْ الْفُجَّار أَوْ بِأَهْلِ التَّصَوُّف وَالصُّلَحَاء الْأَبْرَار
“Menurut Ali Al-Qari, siapa pun yang menyerupai kaum kafir, fasik, durjana, atau bahkan ahli tasawuf maupun orang saleh, maka ia termasuk bagian dari mereka.”
فَهُوَ مِنْهُمْ: أَيْ فِي الْإِثْم وَالْخَيْر قَالَهُ الْقَارِي . قَالَ الْعَلْقَمِيّ: أَيْ مَنْ تَشَبَّهَ بِالصَّالِحِينَ يُكْرَم كَمَا يُكْرَمُونَ، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِالْفُسَّاقِ لَمْ يُكْرَم وَمَنْ وُضِعَ عَلَيْهِ عَلَامَة الشُّرَفَاء أُكْرِمَ وَإِنْ لَمْ يَتَحَقَّق شَرَفه اِنْتَهَى
“Ali Al-Qari mengartikan bahwa seseorang dianggap bagian dari mereka dalam hal dosa dan pahala. Menurut Al-Alaqami, siapa pun yang menyerupai orang saleh akan dihormati, dan sebaliknya, siapa yang menyerupai kaum fasik tidak akan dihormati.”
Baca: Pendeta di Gaza Ungkap Janji Palsu Israel Lindungi Kristen Palestina
Pertimbangan partisipasi pada budaya non-Muslim
Islam mengajarkan prinsip niat dan tujuan dalam setiap tindakan. Dalam Bughyah al-Mustarsyidiin, Sayyid Abdurrahman Ba’lawi menjelaskan:
حاصل ما ذكره العلماء في التزيي بزي الكفار أنه إما أن يتزيا بزيهم ميلاً إلى دينهم وقاصداً التشبه بهم في شعائر الكفر، أو يمشي معهم إلى متعبداتهم فيكفر بذلك فيهما، وإما أن لا يقصد كذلك بل يقصد التشبه بهم في شعائر العيد أو التوصل إلى معاملة جائزة معهم فيأثم، وإما أن يتفق له من غير قصد فيكره كشد الرداء في الصلاة
“Kesimpulan dari pernyataan ulama tentang berbusana menyerupai orang kafir adalah (1) jika didasari niat untuk mendukung agama mereka atau meniru syiar kafir, atau (2) untuk ikut ke tempat ibadah mereka, maka dia menjadi kafir. (3) Jika tidak berniat demikian, melainkan sekadar menyerupai mereka dalam perayaan atau untuk berinteraksi, maka ia berdosa. (4) Jika tanpa niat apapun, maka hukumnya makruh, contohnyw seperti mengikat selendang dalam salat.”
Interaksi sosial yang sehat dengan non-Muslim bukanlah hal terlarang selama tidak mengorbankan akidah. Dalam QS. Al-Mumtahanah: 8, Allah Swt berfirman:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mendorong hubungan sosial positif, selama tidak mendukung nilai-nilai yang menyimpang. Dalam hal perayaan budaya, selama tidak membahayakan akidah, maka hubungan sosial yang baik tetap dianjurkan.
Baca: ‘War Takjil’ Tanda Cinta Lintas Agama
Prinsip kehati-hatian
Dalam persoalan ini, sikap kehati-hatian juga termasuk hal yang sangat dianjurkan. Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari membahas batasan hukum tasyabbuh.
وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ السَّلَفِ لُبْسَ الْبُرْنُسِ لِأَنَّهُ كَانَ مِنْ لِبَاسِ الرُّهْبَانِ وَقَدْ سُئِلَ مَالِكٌ عَنْهُ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِهِ قِيلَ فَإِنَّهُ مِنْ لَبُوسِ النَّصَارَى قَالَ كَانَ يلبس هَا هُنَا.
“Sebagian ulama salaf menghukumi makruh memakai burnus (mantel bertudung kepala), karena itu merupakan pakaian pendeta. Imam Malik ditanya, beliau menjawab tidak mengapa, meskipun itu pakaian orang Nasrani.”
Di bagian lain, Ibnu Hajar menegaskan bahwa jika simbol atau gaya tertentu sudah tidak menjadi syiar khusus non-Muslim, maka hukumnya boleh.
Namun, mempertahankan identitas Islam di tengah budaya yang semakin beragam membutuhkan kebijaksanaan. Halloween memang menarik, tetapi sebagai Muslim, menjaga jarak dari perayaan yang tidak selaras dengan nilai Islam akan lebih baik.
Alternatifnya, mengedepankan kegiatan yang lebih bermanfaat sesuai nilai Islam adalah pilihan yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara integritas agama dan hubungan sosial yang sehat.