Ikhbar.com: Sabar merupakan salah satu karakteristik utama yang dimiliki seorang santri. Sifat tersebut mencerminkan kedalaman spiritual dan ketahanan mental mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Bagi seorang santri, kesabaran bukan sekadar kemampuan untuk menahan diri dari rasa marah atau frustrasi, tetapi juga mencakup sikap tawakal dan keikhlasan dalam menghadapi berbagai ujian atau cobaan.
Seorang santri yang sabar mampu melihat setiap tantangan sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh. Prinsip tersebut menjadikan mereka lebih kuat dalam Iman dan tekad.
Dalam proses pembelajaran, kesabaran ini juga tercermin dalam ketekunan mereka ketika menuntut ilmu, meskipun rintangan dan cobaan sudah menjadi makanan sehari-hari.
Sejatinya, kemahiran santri dalam mengolah rasa sabar sudah sesuai dengan apa yang dituliskan pada QS. Al-Baqarah: 153. Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Baca: Kepanjangan ‘Santri’ dalam Kamus Gen Z
Sabar
Syekh Ahmad bin Muhammad As-Shawi dalam Hasyiyatus Sawi ‘ala Tafsirul Jalalain menjelaskan, ayat tersebut menekankan pentingnya seorang Muslim untuk istikamah bersabar dalam menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan.
Lebih lanjut, ia membagi sabar menjadi tiga tingkatan, yakni sabar dalam melanggengkan ketaatan, sabar dalam meninggalkan maksiat, dan sabar dalam menghadapi musibah dengan tetap memuji dan bersyukur kepada Allah. Jika mampu mengendalikan tiga sifat sabar tersebut, maka seseorang akan menjadi pandai dalam bersyukur, baik dalam keadaan bahagia maupun sengsara. Dari ketiganya, sabar dalam meninggalkan maksiat adalah yang paling utama.
Maka, kata Syekh Syihab al-Din Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, jika seorang santri mampu menerapkan prinsip sabar dalam kondisi apapun, dipastikan ia akan mendapat kebahagiaan. Syekh Syihab menyimpulkannya dengan sebuah maqala “Al-sabr miftah al-faraj” (sabar adalah kunci kebahagiaan).
Tangguh
Ilmu yang didapati di pesantren, bagi santri bukan sekadar pengetahuan agama, melainkan mereka sekaligus belajar akan keteguhan dalam menghadapi tantangan dan kemampuan mengubah cobaan menjadi peluang.
Santri terbiasa memandang kesulitan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri, baik dari segi spiritual maupun mental. Dalam perspektif ini, setiap tantangan yang dihadapi bukanlah halangan, melainkan kesempatan untuk memperdalam Iman dan memperkuat karakter.
Santri sadar betul bahwa ujian yang datang dalam berbagai bentuk, baik dalam pembelajaran, interaksi sosial, maupun kehidupan sehari-hari adalah bagian integral dari proses pembentukan diri. Dengan sikap ini, santri tidak hanya berusaha untuk melewati kesulitan, tetapi juga berupaya untuk memahami hikmah di baliknya. Misalnya, melalui kesabaran dalam menghadapi kegagalan, mereka belajar untuk bangkit kembali dengan lebih bijak dan tangguh.
Dalam konteks spiritual, ujian tersebut menjadi momentum refleksi yang mendorong mereka untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, memperkuat rasa syukur, dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya iman dalam setiap langkah hidup. Dengan demikian, santri bisa menjadikan setiap ujian sebagai langkah strategis untuk menjadi lebih kuat dan lebih baik lagi.
Beberapa prinsip keteguhan santri dalam kemampuannya mengelola cobaan sejatinya seperti yang telah disinggung dalam QS. Al-Baqarah: 153.
Melaui Tafsir Munir, Syekh Wahbah Zuhaili menyebut bahwa kata “Asshabru” dalam ayat tersebut mengukuhkan jiwa agar seseorang kuat dalam menghadapi cobaan. Termasuk, dalan menjalankan perintah-perintah Allah maupun menghadapi cobaan kehidupan manusia, mereka harus meminta pertolongan kepada Allah agar dapat mencapai kebahagiaan di akhirat, salah satu jalannya yakni melalui sabar.
Secara khusus, tegas Syekh Wahbah, makna sabar pada ayat tersebut terdapat faktor mental yang sangat kuat pengaruhnya terhadap jiwa.
Baca: ‘Mindful Reading’ Al-Qur’an, Terapi Meraih Ketenangan
Salat sebagai penguat mental
Dalam kehidupan sehari-hari, salat tidak hanya berfungsi sebagai ibadah ritual, tetapi juga menjadi sarana untuk membangun ketahanan mental dan emosional. Dengan menjalankan salat lima waktu secara konsisten, santri dilatih untuk disiplin dalam mengatur waktu, sebuah keterampilan yang sangat penting dalam menuntut ilmu dan menjalani aktivitas lainnya.
Manfaat menjalankan salat fardhu tepat waktu pernah dibuktikan oleh penelitian di Universitas Islam Riau. Dalam jurnal yang ditulis Mela Amelia, Yanwar Arief, dan Ahmad Hidayat dengan judul “Hubungan Antara Kedisiplinan Melaksanakan Salat Wajib dengan Prokratinasi Akademik pada Mahasiswa (2019)” menyimpulkan, semakin tinggi kedisiplinan melaksanakan salat wajib, maka semakin rendah mahasiswa untuk meninggalkan tugas kuliah mereka, begitupun sebaliknya.
Di sisi lain, salat juga dinilai mampu memberikan kesempatan untuk seseorang melakukan refleksi diri. Hal itu memungkinkan santri untuk merenungkan tindakan dan pikiran mereka, serta memperbaharui niat dan tujuan hidup. Proses ini tidak hanya memperkuat hubungan mereka dengan Tuhan, tetapi juga membantu mereka menghadapi tantangan hidup dengan ketenangan dan keyakinan.
Dengan demikian, salat bagi santri menjadi fondasi yang kokoh dalam menghadapi berbagai ujian, sekaligus mendukung pertumbuhan spiritual dan mental yang berkelanjutan.
Saat menafsirkan QS. Al-Baqarah:153, Sayid Quthb dalam Tafsir fi Zilal Al-Qur’an menegaskan, salat merupakan penolong yang akan selalu memperbaharui kekuatan dan bekal untuk memperbaiki diri. Sehingga dengan salat, kualitas kesabaran seseorang akan lebih baik. Sebab, jika seseorang mengalami kesulitan dalam berusaha, biasanya kesabaran dapat menjadi lemah. Di sinilah pentingnya seseorang melaksanakan salat.
Dalam penjelasannya itu, Sayid Quthb juga menyebut bahwa salat bisa diartikan sebagai hubungan langsung antara sesuatu yang lemah dengan sesuatu yang besar dan abadi. Oleh karena itu, ketika Nabi Muhammad Saw menghadapi kesulitan maka beliau segera melakukan salat.
Baca: 3 Gerakan Utama Santri menurut Gus Menteri
Allah bersama orang-orang yang sabar
Prinsip ini merupakan keyakinan yang menguatkan santri dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Di sisi lain, pemahaman ini mengajarkan bahwa kesabaran bukan hanya sekadar menunggu, tetapi juga mencerminkan sikap rendah hati dan tawakal kepada Allah Swt.
Ketika santri menghadapi ujian, keyakinan akan pertolongan Allah menjadi sumber kekuatan yang mendalam. Keadaan tersebut mendorong mereka untuk tetap tegar dan tidak kehilangan harapan. Dalam perjalanan spiritualnya, santri belajar untuk berserah diri, menyadari bahwa setiap cobaan adalah bagian dari rencana yang lebih besar.
Dengan mengembangkan sikap rendah hati, mereka membuka diri untuk menerima hikmah dari setiap kesulitan, sekaligus memperkuat Iman mereka bahwa Allah senantiasa hadir dan memberikan dukungan bagi orang-orang yang sabar. Keyakinan ini menanamkan ketenangan dalam hati santri, menjadikan mereka lebih kuat dalam menjalani hidup dengan penuh keyakinan dan keikhlasan.
Prinsip tersebut juga telah disinggung dalam akhir ayat QS. Al-Baqarah: 153. Menurut ulama ahli tafsir, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan, jika seseorang ingin berhasil dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan, atau terhindar dari kesedihan dan kesulitan, maka ia harus menerapkan prinsip bahwa Allah Swt selalu disertakan pada setiap aktivitasnya.
Ketika prinsip tersebut diterapkan, maka Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa pasti membantunya, karena Dia pun telah bersama hamba-Nya. Tanpa kebersamaan itu, kesulitan tidak akan bisa teratasi. Bahkan, jika seseorang tidak bersama Allah, bisa jadi permasalahannya itu akan semakin besar karena diiringi hawa nafsunya.
Sementara, ulama tafsir nusantara lainnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menegaskan, Allah Swt akan selalu bersama orang-orang yang beriman. Seseorang yang diberikan cobaan yang meyebabkan jiwanya menjadi gelisah, lalu berpedoman dengan ayat ini dan membentengi dirinya dengan sabar dan salat, perlahan-lahan memunculkan harapan di dalam kehidupannya.
Walaupun dari luar terlihat sedang merasakan kesepian, akan tetapi dia merasakan keramaian karena merasa selalu bersama Tuhannya. Walaupun belenggu yang terpasang di tangannya, jiwanya tetap akan merasakan kebebasan.