Ikhbar.com: Kekayaan sering kali diukur dari jumlah materi. Namun, sejatinya, harta yang paling berharga tak selalu bisa dilihat dengan mata.
Inilah pesan mendalam yang tersembunyi di balik film asal Thailand berjudul “How to Make Millions Before Grandma Dies (2024).” Drama yang baru beberapa hari hadir di platform Netflix tersebut menawarkan kisah yang pada permukaannya penuh tawa, tetapi mampu membawa penonton pada perjalanan emosional yang menyentuh.
Meski judulnya terdengar sangat komersial, film ini menghadirkan pelajaran penting tentang ketulusan dalam mengabdi kepada orang tua, sebuah nilai yang erat dengan konsep birrul walidain dalam Islam. Yakni, berbakti kepada orang tua yang memerlukan ketulusan sepenuh hati, tanpa pamrih.
Film yang disutradarai oleh Pat Boonnitipat dan dibintangi oleh Putthipong Assaratanakul (Billkin) sebagai M ini menghadirkan drama keluarga yang kuat. Dengan jalinan cerita yang menyentuh dan karakter-karakter yang relatable, kisah ini menggambarkan perjuangan seorang pemuda dalam menemukan makna kehidupan di tengah desakan materi dan tanggung jawab keluarga.
Mempelajari bahwa cinta dan pengorbanan kepada neneknya, Amah, jauh lebih bernilai daripada sekadar harta, menjadikan film ini bukan sekadar hiburan, tapi juga renungan yang mengajak penonton untuk merenungi apa yang benar-benar berharga dalam hidup.
Warisan cinta
Cerita berpusat pada M, seorang pemuda yang bergumul dengan kehidupan ekonomi yang sulit. Ketika neneknya, Amah, jatuh sakit, M melihat ini sebagai kesempatan untuk mendekati sang nenek, berharap mendapatkan bagian besar dari warisan yang diimpikannya.
Harapan tersebut membuat M dengan setengah hati mulai tinggal bersama neneknya. Namun, perlahan tetapi pasti, niat M yang awalnya dilandasi ambisi materi mulai terkikis oleh kehadiran sosok Amah yang meski tampak rapuh, tetap menyimpan kekuatan luar biasa dalam memberikan pelajaran hidup bagi sang cucu.
Alur cerita berkembang ketika M mulai menyadari bahwa warisan yang sesungguhnya bukanlah harta yang ia kejar, melainkan cinta dan kebijaksanaan yang telah lama tersembunyi di balik tutur kata dan tindakan sang nenek. Dari sinilah M mulai belajar bahwa hidup tidak hanya soal mengejar kekayaan, tetapi juga soal menghargai orang yang paling dicintai—sebuah pelajaran berharga yang jarang didapatkan dari dunia materialistis.
Menggelitik, tapi menyentuh
Daya tarik film ini terletak pada dinamika yang unik antara M dan Amah. Dialog penuh canda tapi sarat makna menciptakan keseimbangan antara humor dan emosi yang dalam.
Penonton diajak tertawa sekaligus tersentuh dengan hubungan yang berkembang di antara keduanya. Banyak adegan yang memancing senyum karena kejenakaan Amah, meski di balik tawa tersebut, ada kehangatan yang menusuk hati.
Putthipong Assaratanakul memberikan penampilan yang meyakinkan sebagai M, membawakan transformasi karakter dari seorang pemuda egois menjadi pribadi yang lebih peka dan penuh kasih sayang dengan sangat halus.
Meski narasi film terkadang terasa lambat, terutama di awal cerita, tapi keseluruhan perjalanan emosi yang ditawarkan tetap membuat penonton terpaku. Latar belakang budaya Thailand yang kental turut memperkaya cerita, menghadirkan kehangatan dalam nuansa keluarga dan tradisi yang tak mudah luntur oleh waktu.
Pujian dan kritik
Usha Seamkhum, yang memerankan Amah, patut diacungi jempol. Dengan kemampuannya, Amah tidak hanya menjadi figur nenek yang tegas namun penuh cinta, tetapi juga sebagai sumber kebijaksanaan yang memberikan M pelajaran hidup yang berharga.
Sementara itu, karakter M, meskipun dalam beberapa momen terlihat klise, mampu menunjukkan perkembangan emosional yang membuat penonton terhubung dengannya.
Namun, ada beberapa kritik yang layak disampaikan. Sejumlah momen dalam film ini terasa dipaksakan, terutama terkait motivasi M untuk awalnya mengincar warisan. Meski motif ini umum dalam cerita keluarga, beberapa penonton mungkin merasa bahwa peralihan dari niat buruk menuju ketulusan terlalu cepat dan tidak cukup mendalam.
Meski begitu, kekurangan ini tidak banyak mengurangi kekuatan emosional dari film yang secara keseluruhan sukses menggugah hati.
Baca: Saudi akan Bangun Bioskop di Dekat Masjidil Haram dan Ka’bah
Ketulusan sebagai syarat
Konsep birrul walidain alias berbakti kepada orang tua dengan penuh ketulusan adalah pesan moral yang sangat kuat dalam film ini. Dalam ajaran Islam, berbakti kepada kedua orang tua menjadi sesuatu yang paling esensial, bahkan hanya berkedudukan setalah kewajiban meng-Esakan Tuhan.
Dalam QS. An-Nisa: 36, Allah Swt berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak ya tim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.”
Firman dengan redaksi senada juga terdapat dalam bebera surat lainnya, seperti QS. Al-An’am: 151, Allah Swt berfirman:
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Kemarilah! Aku akan membacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu, (yaitu) janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baiklah kepada kedua orang tua, dan janganlah membunuh anak-anakmu karena kemiskinan. (Tuhanmu berfirman,) ‘Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.’ Janganlah pula kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengerti.”
Begitu juga dalam QS. Al-Isra: 23, Allah Swt berfirman:
“Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”
Melalui karakter M, penonton diajak merenungi kembali pentingnya pengabdian kepada orang tua atau kepada siapapun yang lebih tua, dengan penuh ketulusan. Ia seakan menjadi sirene yang kemudian menyadarkan motif anak-anak Amah sendiri, yakni Kiang (Diperankan Sanya Kunakorn), Soei (Pongsatorn Jongwilas), dan ibunda M, Chew (Sarinrat Thomas) yang hanya memikirkan harta warisan peninggalan orang tuanya.
M, meski awalnya juga memiliki niat serupa, pada akhirnya mampu menemukan ‘kekayaan’ yang lebih abadi melalui cinta dan pengorbanan kepada neneknya.
Hal ini, sejalan dengan sabda Rasulullah Muhammad Saw, “Siapa saja yang ingin dipanjangkan umurnya dan bertambah rezekinya, hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menyambung silaturahim.” (HR Ahmad).
Dari sisi tasawuf, film ini juga menjadi pengingat akan nasihat Imam Al-Ghazali dalam Majmu’ah Rasail tentang tujuh adab seorang anak kepada orang tuanya.
Imam Al-Ghazali menulis, “Adab anak kepada orang tua adalah mendengarkan kata-kata mereka, berdiri ketika mereka berdiri, mematuhi sesuai perintah, memenuhi panggilan, merendah di hadapan mereka dengan penuh sayang dan tidak menyusahkan mereka dengan pemaksaan, tidak mudah merasa capek dalam berbuat baik kepada mereka, dan tidak sungkan melaksanakan perintah-perintah mereka, tidak memandang mereka dengan rasa curiga, dan tidak membangkang perintah mereka.”
Begitu tingginya kemuliaan orang tua di mata Islam. Hingga sahabat Ibnu ‘Abbas R.a berkata, “Jangan engkau kibaskan pakaianmu, sehingga kedua orang tuamu terkena debunya.”
Kekayaan terbesar adalah ketulusan
“How to Make Millions Before Grandma Dies” adalah lebih dari sekadar cerita tentang warisan. Di balik setiap lelucon dan konflik materi, terselip pesan yang mendalam tentang bagaimana kekayaan sejati tidak diukur dari harta benda, tetapi dari kasih sayang yang tulus kepada keluarga.
Hubungan antara M dan Amah menjadi simbol bagaimana kasih dan pengorbanan sering kali menjadi hal yang terabaikan dalam hidup, tapi pada akhirnya merupakan sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.
Film ini mengajarkan bahwa keikhlasan dalam berbakti, sebagaimana disampaikan dalam ajaran Islam, adalah harta yang paling berharga. Ketulusan yang murni akan membawa kebahagiaan yang tak ternilai. Dalam cinta serta pengorbanan kepada orang tua, setiap manusia akan menemukan kekayaan terbesar, yakni kekayaan hati.