Ikhbar.com: Istilah ketahanan pangan kembali mencuat seiring konfrontasi Rusia dan Ukraina yang telah meletup jelang dua tahun terakhir. Pendidihan global yang ditengarai turut memicu ancaman krisis pangan pun kian menguatkan manusia di seluruh dunia untuk kembali peduli pada gagasan tersebut.
Sebutan ketahanan pangan muncul pertama kali di Konferensi Pangan Dunia pada 1974. Badan Pangan Dunia (FAO) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kemampuan akses secara fisik maupun ekonomi setiap rumah tangga untuk mendapatkan makanan yang layak dan bergizi bagi seluruh anggota keluarganya.
FAO menegaskan, ada empat pilar penting dalam menopang ketahanan pangan. Yakni ketersediaan, akses, kualitas, dan keamanan pangan.
Ketahanan pangan pra-Islam
Islam tumbuh dan berkembang di Jazirah Arab, sebuah wilayah tandus dan kering yang tidak begitu akrab dengan produktivitas pertanian. Akan tetapi, semangat universalitas Islam-lah yamg kemudian mampu menumbuhkan semangat pentingnya membangun ketahanan pangan demi keberlangsungan umat manusia di dunia.
Baca: Peta Geografis dan Kesukuan Bangsa Arab
Abbas Mahmoud Al-Akkad dalam The Impact of Arabs on European Civilization (1998) menjelaskan, masyarakat Arab tempo dulu hanya bisa mengandalkan kurma sebagai tanaman paling berharga. Pasalnya, hanya buah itulah yang mampu tumbuh di oasis yang tersebar di antara bukit pasir. Cuma kurma yang bisa dikelola dengan sedikit air dan tenaga perawatan.
“Jelas terlihat bahwa masyarakat Arab tidak terlalu peduli dengan pertanian. Mereka mendapatkan produk pertanian yang mereka butuhkan hanya melalui perdagangan dan pertukaran barang,” tulis Al-Akkad, dikutip pada Senin, 2 Oktober 2023.
Menurut dia, dari masa ke masa, kondisi geografis Jazirah Arab telah membawa masyarakatnya terbiasa untuk menghadapi kemiskinan, kelaparan, dan kelaparan.
“Baru kemudian sejarah keberhasilan penerapan peraturan Islam selama lebih dari 14 abad telah menghasilkan kemajuan dalam kondisi sosial, termasuk ketersediaan dan keamanan pangan,” tulisnya.
Upaya Nabi tingkatkan pertanian
Ibn Al-Mubarak dalam Al-Tajrid wa al-Sarih mengungkapkan tiga pendrkatan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam peningkatan produksi pangan. Pertama, Nabi Saw memulai praktik dakwah Islam berupa usaha peningkatan pertanian dan produksi pangan dengan memberikan tanah yang luas antara laut Merah dan perbukitan kepada Bilal Al-Muzni.
“Banyak sahabat Nabi bekerja di bidang pertanian. Saat itu, Madinah juga terkenal dengan pertanian dan kebun buah-buahannya. Nabi Muhammad memberikan banyak tanah kepada sahabatnya untuk dibangun, ditanami, dan diinvestasikan di dalamnya. Selain Bilal, mereka yang diperintah antara lain Abu Bakar As-Shidiq dan Umar bin Khattab untuk penggarapan tanah di Khaibar,” jelasnya.
Kedua, generasi pertama Islam menggarap tanah berdasarkan perjanjian yang disebut Muzara’ah atau sistem pemberian upah oleh pemilik lahan kepada penggarap dengan jumlah tergantung hasil panen.
“Ketiga, Nabi Saw menunjuk seseorang untuk menjabat Amil ala Suqar Muhatsib yang bertugas mengatur pasar dan kegiatan komersial lainnya di Makkah dan Madinah. Muhtasib pertama dalam sejarah Islam adalah Sa’id bun Sa’id bin Al-Aas. Dia diangkat setelah penaklukan Kota Makkah,” katanya.
Jabatan Muhtasib merupakan terobosan yang tidak pernah ditemukan selama masa jahiliyyah. Mereka yang ditunjuk Nabi Saw memiliki kewajiban untuk mengamati dan memastikan ketertiban dalam menjalankan pasar berasaskan perlindungan dan keadilan bagi konsumen.
Baca: Resesi Ekonomi Pertemukan Nabi dengan Khadijah
“Selain itu, Muhtasib juga harus memastikan keadilan dalam menyelesaikan suatu perselisihan, pengaduan, atau pelanggaran,” ungkapnya.
Atas terobosan hulu-hilir ketahanan pangan itu, pada akhirnya Madinah mampu memproduksi kurma dan gandum dengan jumlah signifikan di setiap tahunnya. Hasil tersebut bisa mengimbangi kebutuhan ekspor terhadap wijen, barley, buncis, dan keperluan pangan lainnya.
“Intinya, Islam menggagas dari penyediaan sarana, teknik kerja sama pengelolaan, serta perlindungan pasar dari potensi monopoli dan permainan harga berlebihan. Ini sudah cukup kuat untuk gagasan ketahanan pangan pada masanya,” tulis Al-Mubarak.