Ikhbar.com: Umar ibn Abdul Aziz, sosok yang dikenal amat sederhana itu didesas-desuskan menjadi pengganti Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik yang tengah dilanda sakit.
Umar gusar. Cicit dari Khalifah Umar ibn Khattab itu sebenarnya enggan mengemban amanat yang di matanya sangat berat. Apalagi, beberapa pemimpin dari Dinasti Umayyah sebelumnya dikesankan lalai, gemar hidup dalam gelimang harta dan kekayaan.
Umar sangat merindukan kesederhanaan pemimpin Islam seperti yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW. Ia khawatir, ketika kepercayaan itu diberikan kepadanya, ia tak mampu berlaku adil. Malah asyik masyuk dengan kekuasaannya sendiri.
Tapi, takdir tak bisa dibendung. Setelah khalifah yang tak lain adalah sepupunya itu dikabarkan wafat, Umar dikejutkan dengan sebuah pengumuman.
“Berdirilah, wahai Umar ibn Abdul Aziz. Sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini,” teriak Ibn Haiwah, ketika membaca wasiat Sulaiman di hadapan khalayak.
Mendengar pengumuman resmi dari lingkungan kerajaan, Umar bangkit dari sela-sela penduduk yang hadir. Ia menolak dengan berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dan tidak pernah sekali pun aku memintanya. Sesungguhnya aku mencabut baiat yang ada di lehermu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki.”
Namun, pilihan mendiang Sulaiman memang tak salah. Rakyat sepakat dan cocok atas sikap Umar selama ini. Dengan berat hati, Umar pun akhirnya menerima.
Dalam pidato pertamanya, Umar menangis, “Taatlah kamu kepadaku selama aku taat kepada Allah. Jika aku durhaka kepada-Nya, maka tidak ada keharusan bagimu untuk taat kepadaku.”
Umar disambut riuh gembira penduduk muslim. Tapi di dalam benaknya, ia terus berpikir tentang bagaimana caranya agar bisa menegakkan keadilan di bawah panji Islam. Tak terasa, lelah yang parah menerpa badannya. Umar tertidur pulas.
“Apakah yang sedang engkau pikirkan, wahai Amir Al-Mukminin?” tanya salah satu putranya yang baru berusia 15 tahun. Ia merasa asing saat melihat sang ayah ketika terbangun dalam lamunan.
Umar menjawab, “Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu. Tidak pernah kurasakan lelah seperti ini.”
“Jadi apa yang akan ayah lakukan?” tanya putranya kembali.
“Ayah ingin meneruskan tidur sejenak. Setelah itu keluar untuk mendirikan salat Zuhur bersama rakyat,” jawab Umar.
Keesokan harinya, Umar memenuhi kewajiban untuk kembali berpidato di muka umum. Dalam khotbahnya itu ia berkata;
“Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad SAW dan tiada kitab setelah Al-Qur’an. Aku bukan penentu hukum, justru akulah pelaksana hukum Allah SWT. Aku bukan orang yang paling baik di antara kalian, aku hanyalah orang yang paling berat tanggungannya. Aku mengucapkan ucapan ini, sementara aku tahu, aku adalah orang yang paling banyak dosa di sisi Allah.”
Umar menghentikan pidatonya sejenak, ia menunduk dan kembali menangis, “Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku.”
Rakyat yang hadir saling tatap dan bermenung. Mereka heran, tak ada pesta ria sebagaimana dalam kebiasaan pengangkatan khalifah sebelumnya. Tak ada pula janji manis dan rasa berbangga.
Di sisi lain, protokoler kerajaan segera menyediakan unta-unta gagah dengan pelana mewah sekaligus para kusirnya. Fasilitas ini biasa digunakan seorang khalifah. Tapi mereka merasa kaget bukan kepalang, ketika Umar dengan raut merah padam berkata, “Aku tidak membutuhkannya. Jauhkan ini semua dariku. Tolong, bawa kemari keledai milikku.”
Lebih tersentak lagi di saat Umar justru memerintahkan para petugas untuk segera menjual segala aset pribadi khalifah yang difasilitasi negara. Uang hasil penjualan itu, ia masukkan ke bait al-maal. Lantas diterbitkanlah beragam kebijakan yang menyasar langsung kepada kaum duafa.
Umar, cuma minta dibayar 400 dinar dalam setahun. Tanah dan kekayaan yang ia miliki pun ditinggalkan. Bahkan cincin yang ada di tangannya ia serahkan demi kepentingan negara, katanya, “Ini termasuk pemberian khalifah Walid ibn Abdul Malik yang tidak dibenarkan.”
Disarikan dari sebuah kisah dalam Siyar Alamin Nubala, karangan Imam Adz-Dzahabi.