Ikhbar.com: Penulis perempuan, Kalis Mardiasih tak sepakat, bahkan mengaku kesal dengan kriteria salehah yang kerap digambarkan dalam buku-buku bertema agama. Menurutnya, stereotipe perempuan salehah yang selama ini banyak ditulis laki-laki tidak sesuai dengan realitas.
“Kalau menuju rak toko buku bertema perempuan dan agama, yang saya jumpai itu buku-buku dengan judul ‘300 Dosa yang Diremehkan Wanita’, 100 yang ini, 300 yang itu,” ujar Kalis, saat membuka materinya dalam seminar “Edu Talks Literasi Digital,” di Pondok Pesantren KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat, pada Sabtu, 20 Juli 2024 lalu.
Baca: Mentok Ide? Ini Kiat Berburu Bahan Tulisan ala Agus Mulyadi
Meluruskan makna salehah
Kalis menilai, perempuan salehah seakan-akan dipaksakan sebagai sosok yang tidak boleh menonjolkan diri, pantang keluar rumah, dan hanya bertugas mengurus rumah tangga. Padahal, banyak juga Muslimah di Indonesia yang justru sangat produktif dan berkontribusi besar bagi masyarakat.
“Kenapa yang dibahas dosa terus? Jadi, di mana sih gambaran tentang perempuan-perempuan yang berprofesi dan berjasa sebagai guru, nelayan, petani, pedagang, ahli hukum, dokter, tenaga kesehatan? Perempuan di militer juga banyak, perempuan yang sekarang jago di dunia cyber security atau keamanan digital juga sudah banyak,” tegasnya.
Kalis berterus terang ingin merebut kembali definisi, kriteria, dan tafsir label salehah sesuai dengan realitas dan pengalaman perempuan. Dari pandangan itulah, kemudian ia bertekad untuk terus menulis karya-karya yang menggambarkan keberagaman peran dan kontribusi perempuan.
Kalis berharap, melalui karya-karyanya, penggambaran tentang perempuan salehah yang selama ini telanjur banyak dibaca bisa diubah dan digantikan dengan gambaran yang lebih sesuai dengan realitas kehidupan perempuan Muslim di Indonesia.
“Teman-teman santri juga harus bisa menulis. Minimal di media sosial. Dulu saya begitu. Pertama-tama, misalnya, menuliskan kegiatan saya di Instagram. Tiap kali ada ibu-ibu pedagang sayur baru turun dari Gunung Merapi, saya potret di Pasar Kolombo. Saya juga potret perempuan yang sedang menyapu di jalan, saya potret perempuan yang berjualan bensin, saya potret perempuan yang jadi sopir truk. Jadi sederhana banget sebetulnya,” katanya.
“Di Indonesia, perempuan-perempuan kepala keluarga itu adalah perempuan-perempuan paling kuat. Siapa di sini yang dibesarkan oleh ibu yang seorang perempuan kepala keluarga? Pasti ada yang perempuan sebagai kepala keluarga,” sambungnya.
Baca: Santri KHAS Kempek Cirebon Bedah Urgensi Menulis bareng Agus Mulyadi dan Kalis Mardiasih
Menuliskan dirinya sendiri
Sayangnya, kata Kalis, posisi perempuan seakan-akan selalu diposisikan sebagai pelengkap. Sedangkan profesi-profesi itu seolah-olah hanya layak untuk laki-laki.
“Itulah kenapa di dalam karya-karya sastra juga perempuan selalu jadi pelengkap. Misalnya di dalam novel atau film-film yang kita tonton, laki-laki itu selalu ada profesinya. Mereka kelihatan berangkat ke kantor, membawa tas, bekerja. Tapi kalau perempuan, enggak jelas,” katanya.
Oleh sebab itu, Kalis menyebut betapa pentingnya seorang perempuan memiliki kemampuan menulis. Tujuannya agar ia bisa menempatkan perempuan sebagai subjek, tidak melulu sebagai pelengkap.
“Syarat utama menjadi penulis adalah overthinking dan super Kepo. Sedikit peristiwa yang datang kepada kita, kita pikirkan, beri makna, dan kita tuliskan. Itu syarat paling utama jadi penulis.”
“Sudah saatnya kita sendiri, para perempuan yang menuliskan perempuan sesuai dengan realita. Kalau kita merasa sebagai perempuan yang suka sekolah, bikin tokoh di karya-karya yang kita tulis juga perempuan yang suka sekolah. Begitu,” ujar Kalis.