Ikhbar.com: Naskah kuno bisa diibaratkan seperti “pintu ke mana saja” yang terbuka untuk ditinjau dari berbagai cabang keilmuan. Ia dapat dibaca sebagai teks agama, jejak kebudayaan, atau bahkan arsip kehidupan sehari-hari.
Namun, dari semua pintu itu, salah satu yang paling penting adalah pintu sejarah. Naskah dapat menyingkap memori kolektif yang nyaris hilang, termasuk peran perempuan di lingkungan pesantren.
Hal itu diungkapkan peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta sekaligus kandidat doktoral di Universitas Koln, Jerman, M. Nida Fadlan, dalam diskusi bertajuk “Manuskrip Qur’an Buntet Pesantren dan Potensi Risetnya,” yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Buntet Pesantren “Mbah Din” bekerja sama dengan Qur’an Center Buntet Pesantren Cirebon.
Baca: Jelajah Pesantren Era Kolonial lewat Manuskrip Kuno Buntet Cirebon
Menurutnya, hal ini menjadi kunci untuk membuka lembar-lembar sejarah pesantren yang kerap luput dari sorotan tentang siapa yang ikut menjaga, menyalin, bahkan membeli kitab.
Dalam khazanah manuskrip Buntet, salah satu pesantren tertua dan paling berpengaruh di Cirebon, ditemukan sebuah parateks (catatan pinggir) penting dalam Kitab Fathul Wahab, berkode LKK_CRB2017_BNP006.

“Ikilah Kitab Fathul Wahab wakafé Haji Muhammad Hasan Peng(h)ulu Plumbon mantune(?) maring Haji Muhammad Anwar lan anak putune lan yen wis entong turun-turune nuli maring wong faqir kang ahli ilmu. (di)tampi ing dina Sabtu tanggal selawe wulan Syawal Hijrah 1261 olehe tuku saking Bai(?) Peng(h)ulu Aisyah zawjah Al-Murtado seket rupiah lan Kitab Iqna’. Inilah kitab Fathul Wahhab yang diwakafkan oleh Haji Muhammad Hasan, Penghulu Plumbon, menantunya(?) kepada Haji Muhammad Anwar dan anak cucunya. Dan apabila sudah tidak ada lagi keturunannya, maka (kitab ini) diberikan kepada orang fakir yang ahli ilmu. (Kitab ini) diterima pada hari Sabtu, tanggal 25 bulan Syawal tahun Hijriah 1261, yang dibeli dari Bai(?) Penghulu Aisyah, istri dari Al-Murtado, seharga lima puluh rupiah beserta Kitab Iqna’.”
“Aisyah bukan hanya disebut sebagai istri dari Al-Murtado, tetapi juga sebagai subjek aktif dalam transaksi kitab dan sebagai figur penting dalam pewarisan ilmu,” ujar Kang Nida, sapaan akrabnya, dikutip pada Kamis, 29 Mei 2025.
Baca: Jejak Kertas Eropa di Kitab Kuning Nusantara, Dari Merek hingga Harga
Nama Aisyah yang disebut sebagai “Penghulu” dalam catatan tersebut menjadi semacam batu loncatan baru dalam kajian sejarah perempuan di pesantren.
Sebutan yang lazim disematkan kepada pemangku otoritas agama dan administrasi keislaman itu, menandakan bahwa perempuan tidak hanya hadir sebagai penyokong domestik, tetapi juga pengambil keputusan dalam ranah publik dan keilmuan.
Tokoh perempuan pesantren sekaligus kolektor manuskrip di Buntet, Nyai Mamay Mujahid, menegaskan pentingnya data ini.
“Ini jejak sejarah yang menuntut pembacaan ulang terhadap posisi perempuan dalam struktur sosial dan keilmuan pesantren,” ungkap Nyai Mamay.
Ia menambahkan, peran publik perempuan di pesantren, khususnya di Buntet, memiliki akar sejarah yang panjang. Menurutnya, rekam jejak perempuan dalam dunia publik pesantren bukanlah fenomena kontemporer semata.
“Hal ini dapat menjadi landasan historis tentang pemberdayaan perempuan di pesantren untuk mengisi peran-peran strategis, baik di pesantren maupun di luar pesantren,” pungkasnya.