Assalamualaikum. Wr. Wb.
Ning Uswah dan Ikhbar.com, perkenalkan nama saya Siti Aisyah Rohmah, dari Aceh.
Saya ingin bertanya. Belakangan, marak berita tentang seorang suami yang tega-teganya menceraikan istri yang baru saja dia nikahi hanya dengan dalih pada malam pertama tidak ditemukan bercak darah. Yang ingin saya tanyakan, benarkah bercak darah pada kelamin perempuan di malam pertama adalah tanda kegadisan atau kesucian? Bagaimana pandangan fikih terhadap kasus tersebut? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Baca: Cara Hitung Nafkah untuk Anak setelah Cerai
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Kak Siti Aisyah Rohmah, di Aceh, terima kasih atas pertanyaannya.
Yang perlu dipahami pertama kali adalah bahwasanya seorang perempuan memiliki pengalaman khas, yakni menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Dalam rangkaian alat reproduksi perempuan, kita juga mengenal hymen atau selaput dara. Selaput dara adalah jaringan berupa lapisan tipis yang menutupi sebagian besar dari introitus (bukan luar saluran vagina), bersifat rapuh, dan mudah robek.
Selaput dara pada kelamin perempuan memiliki lubang yang berfungsi sebagai saluran lendir yang dikeluarkan uterus dan darah saat menstruasi. Tentang ini, Allah Swt berfirman:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang menimbulkan rasa sakit (bagi perempuan).’ Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, datangilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222).
Namun, ternyata, selaput dara menjadi salah satu bagian dalam organ reproduksi perempuan yang dianggap memiliki status sosial cukup tinggi dalam pandangan masyarakat melampaui fungsi anatominya itu sendiri. Selaput dara dipercaya amat berkaitan dengan status keperawanan sebagai identitas kesucian seorang perempuan.
Stigma masyarakat yang terbentuk tentang status keperawanan yang ditentukan oleh ada tidaknya pendarahan yang terjadi saat hubungan seksual pertama kali, ditambah minimnya keilmuan tentang reproduksi atau anatomi tubuh manusia ini, pada akhirnya menjadi salah satu penyebab tingginya kasus perceraian di Indonesia.
Menurut Patricia D. Novak dalam Kamus Saku Kedokteran (2009), yang diterjemahan dr. Poppy Kumala menyatakan bahwa uji keperawanan dengan bukti adanya pendarahan setelah berhubungan seksual pertama kali bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan acuan. Kondisi selaput dara mencerminkan keperawanan seorang perempuan hanyalah sebuah mitos, karena:
- Perempuan yang aktif secara seksual atau bahkan pernah melahirkan tetap berpotensi memiliki selaput dara yang utuh.
- Pada perempuan lainnya, selaput dara bisa robek saat melakukan aktivitas atau latihan fisik yang berat, masturbasi, atau memakai tampon (Penyumbat dari kain kasa, dengan atau tanpa obat, untuk menghentikan perdarahan). Artinya, tidak hanya karena berhubungan seksual untuk pertama kali.
- Terdapat beberapa budaya yang membersihkan bayi pada perempuan secara berlebihan hingga selaput daranya robek dan hanya menyisakan serpihannya.
Baca: Suami Selingkuh, Bertahan atau Gugat Cerai?
Selaput dara pun terdiri dari berbagai jenis yang berbeda-beda pada setiap perempuan. Menurut pakar kesehatan, Budi Santoso, ada jenis selaput dara yang tebal yang akan susah sekali robek, bahkan membutuhkan waktu hingga perempuan tersebut melahirkan. Sebaliknya, ada juga perempuan yang memiliki selaput dara tipis yang akan mudah rusak, baik karena aktivitas berat maupun akibat kecelakaan kecil.
Dalam istilah fikih, perawan atau perjaka disebut dengan بكر/bikr. Ulama Mazhab Syafi’iyah mendefinisikan bikr sebagai perempuan yang belum pernah melakukan senggama, baik dengan cara yang halal, seperti melalui pernikahan yang sah, atau perbuatan yang diharamkan, seperti akibat zina, pemerkosaan (haram bagi pelaku), atau wathi’/senggama yang syubhat (persenggamaan selain zina, tetapi bukan dari hubungan pernikahan yang sah ataupun fasad), misalnya, menyetubuhi istri dalam keadaan menstruasi.
Lantas, apabila ada seorang perempuan yang terjatuh dan kebetulan mengenai alat kelaminnya sehingga berakibat pada rusaknya selaput dara, atau perempuan yang darah menstruasinya keluar dengan deras, atau lamanya menjadi perawan tua, menurut pendapat yang ashah, maka perempuan yang demikian tetap dihukumi perawan.
Begitu juga perempuan yang telah menikah dengan ikatan yang sah atau rusak tetapi kemudian ditalak atau ditinggal mati suaminya sebelum digauli dan dicumbui atau perawan yang dipisahkan oleh hakim dari suaminya yang impoten atau terpotong alat kelelakiannya, maka keduanya juga tetap dihukumi sebagai perawan.
Maka, hukumnya dosa besar sekaligus zalim bagi seorang suami yang menceraikan istri hanya karena ketika bersenggama untuk pertama kalinya sang istri tidak mengeluarkan bercak darah. Apalagi jika lelaki itu menuduh istrinya tidak perawan akibat perbuatan zina. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
“Hindarilah kalian terhadap tujuh hal yang membinasakan. Lalu, ada yang bertanya, ‘Apakah tujuh hal itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah Swt kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh zina terhadap wanita suci yang sudah menikah, dan lengah.” (HR. Bukhari Muslim).
Terakhir, ulama Yaman, Syekh Abdul Karim Zaidan dalam Al-Mufashhal fi Ahkam al-Mar’ati wa Bait al Muslim menegaskan bahwa keperawanan tidak dikategorikan sebagai salah satu dasar kuat suami untuk menceraikan istrinya.
Cacat yang dikategorikan sebagai alasan gugat cerai, menurut para ahli fikih, ialah penyakit yang menggangu stabilitas hidup berpasangan, seperti gangguan jiwa, disfungsi seksual, atau penyakit menular seperti flu burung.
Wallahua’lam bi al shawab.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.