Assalamualaikum. Wr. Wb
Ning Uswah dan Ikhbar.com, perkenalkan nama saya Gea Larasati, dari Bogor, Jawa Barat.
Ning, sudah setahun ini saya menjalani pekerjaan yang mengharuskan pindah dari satu kota ke kota lainnya dan itu dilakukan sendirian. Saya ingin bertanya, seperti apa sebenarnya hukum perempuan yang bepergian tanpa mahram (pendamping/pelindung)? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Baca: Suka ‘Ngecek’ HP Suami/Istri? Ini Batasan Privasi menurut Fikih
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb
Terima kasih atas pertanyaannya. Kak Gea Larasati dari Bogor, pada dasarnya Mazhab Syafi’i melarang seorang perempuan bepergian sendiri tanpa mahram. Jika terpaksa dan darurat, maka wajib disertai mahram, terutama suaminya. Tetapi jika belum menikah, maka bisa didampingi oleh saudara atau teman perempuan yang dapat dipercaya.
Berikut adalah hadis yang dijadikan dasar argumentasi/hujah dari fatwa Imam Syafii tersebut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قال: لاَ تُسَافِرِ المَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, ‘Janganlah seorang perempuan bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda:
لا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ باللَّهِ واليَومِ الآخِرِ أنْ تُسافِرَ مَسِيرَةَ يَومٍ ولَيْلَةٍ ليسَ معها حُرْمَةٌ
“Janganlah seorang perempuan bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya.” (HR. Tirmidzi)
Namun, setelah diteliti lebih mendalam dengan mengkaji berbagai sumber kredibel, ternyata ada banyak hadis yang menyatakan tentang larangan mencegah seorang perempuan yang hendak bepergian, terutama jika diniatkan untuk beribadah dan mencari ilmu. Selain itu, ada pula hadis yang membolehkan perempuan untuk ambil peran di ruang publik, bahkan bepergian tanpa mahram sekalipun. Salah satunya adalah hadis berikut:
أَذِنَ عُمَرُ رَضيَ اللهُ عنه لأزْوَاجِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا، فَبَعَثَ معهُنَّ عُثْمَانَ بنَ عَفَّانَ، وعَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ
“Umar mengizinkan para istri Nabi Saw pergi haji pada haji yang terakhir dan mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.” (HR. Muslim)
Maka, dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pelarangan perempuan bepergian tanpa mahram bukan terfokus pada status dan jenis kelamin. Akan tetapi, larangan itu muncul lebih disebabkan adanya kerawanan kondisi lantaran posisi perempuan yang dicap lemah dan dilemahkan oleh mindset (cara pandang) dan budaya yang terbentuk di masyarakat kala itu.
Oleh karena itu, ulama Mazhab Syafi’iyah pun kemudian merinci kembali hujah mereka melalui pendapat tentang dibolehkannya perempuan bepergian tanpa mahram dengan syarat aman dari segala sesuatu yang menyakiti atau pun membahayakannya. Hal itu, sebagaimana tertera dalam hadis yang diriwayatkan Adi bin Hatim, dia berkata, “Suatu saat aku sedang bersama Nabi Saw, lalu ada seorang laki-laki datang mengadu kemiskinan hidupnya. Seorang yang lain mengadu perampokan yang terjadi padanya di jalan. Lalu Nabi Saw bertanya (kepadaku), “Wahai Adi, kamu tahu Kota Hira?” Aku menjawab, “Tidak pernah melihatnya, tetapi sudah pernah mendengar tentangnya.”
Baca: Belajar dari Kasus Botak Paksa Siswi tanpa Ciput Hijab, Bagaimana Cara Ajarkan Fikih dengan Lembut?
Setelah itu, Nabi Saw berkata, “Suatu saat, jika umurmu panjang, kamu akan melihat seorang perempuan berani bepergian (sendirian) dari Kota Hira (yang terletak di Irak, mengunjungi Makkah), sehingga bisa tawaf di ka’bah dan tidak ada yang kita khawatirkannya pada siapa pun (karena aman), kecuali (ketakutannya akan berbuat salah kepada) Allah Swt.” (HR. Bukhari).
Dalam hadis tersebut dijelaskan tentang adanya fenomena perampokan yang banyak terjadi di sekitar ka’bah pada saat itu. Lalu, Nabi Saw merespons bahwa kelak perampokan itu akan teratasi, lantas kondisi pun menjadi aman dan nyaman bagi perempuan sehingga mereka bisa melakukan safar meski tanpa disertai mahram.
Teks dalam hadis itu mengindikasikan bahwa pentingnya keberadaan mahram bagi perempuan saat bepergian tiada lain demi terjaminnya keamanan di tengah kondisi yang serba mengkhawatirkan pada masa itu. Hal tersebut, tentu berbeda dengan hari ini yang hampir di seluruh ruang publik telah diupayakan menjadi tempat yang kondusif dan memiliki jaminan keselamatan karena didukung perangkat hukum tentang perlindungan bagi setiap warga negara. Maka, seorang perempuan, sebagaimana sabda Nabi Saw tadi, ia boleh bepergian ke mana pun tanpa perlu adanya mahram.
Lebih luas lagi, jaminan rasa aman dan nyaman di ruang publik itu pun sebenarnya tidak terpaku untuk perempuan. Sebab, spirit dari teks-teks hadis tentang mahram bagi perempuan sebenarnya adalah tuntutan adanya perwujudan pengamanan dan perlindungan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hal itu selaras dengan penjelasan dalam QS. At-Taubah: 71. Allah Swt berfirman:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain.” Wallahu a’lam bi al-shawab.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.