Assalamualaikum. Wr. Wb.
Ikhbar.com dan Ning Uswah, saya Anita dari Jakarta Timur.
Akhir-akhir ini banyak berita perceraian menerpa pasangan artis di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah perselingkuhan.
Pertanyaannya, jika seseorang perempuan menemui konflik seperti itu (suami berselingkuh), secara fikih lebih diprioritaskan memaafkan demi masa depan anak dan kelanjutan rumah tangga? Atau mengajukan cerai dan menyudahi ikatan perkawinan? Lalu, hingga berapa kali batas toleransi memaafkan perselingkuhan?
Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Terima kasih, Kak Anita di Jakarta Timur.
Tidak cuma di kalangan artis, kasus perceraian juga marak dialami di masyarakat sekitar kita. Namun, sungguh saya turut berduka sekali dengan maraknya peristiwa perceraian atau gugat cerai yang akhir-akhir ini tersebar di berbagai platform media.
Lalu bagaimana fikih memandang permasalahan ini? Dalam kajian fikih munakahat (pernikahan), ada istilah syiqaq atau pertengkaran antara suami dan istri yang tidak bisa diselesaikan antara kedua belah pihak. Penyebab dari syiqaq ini adalah nusyuz. Nusyuz adalah pembangkangan terhadap nilai-nilai pernikahan.
Nusyuz terbagi dua, yakni nusyuz dari pihak istri, dan dari pihak suami.
Nusyuz dari pihak istri berupa tidak dipenuhinya kewajiban kepada suami, istri tidak mau diajak melakukan hubungan seksual tanpa alasan, baik alasan fisik, psikis, atau medis, keluar dari rumah meninggalkan suami, tidak mampu mengatur keuangan, selingkuh/berzina, melalaikan tanggung jawab terhadap keluarga, dan melontarkan kata-kata yang menyakiti hati suami.
Sedangkan nusyuz dari pihak suami antara lain tidak memenuhi kewajiban kepada istri, tidak mampu menafkahi keluarganya, berselingkuh/berzina, bersikap kasar terhadap istri, tidak mau menggauli istri tanpa, atau menggauli istri dengan cara yang tidak patut (tidak ma’ruf).
Jika terjadi nusyuz dari pihak istri, Allah Swt berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang salih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisa: 34)
Menurut Ali Ash-Shabuni, ayat ini diturunkan ketika Said bin Rabi’ memukul istrinya, Habibah binti Zaid. Merasa terzalimi, Habibah menghadap dan mengadu kepada Rasulullah Muhammad Saw.
Baca: Sighat Taklik Penting demi Lindungi Hak Istri
Setelah mendengar laporan Habibah, Nabi bersabda, “Suamimu berhak di-qisas”. Lalu Rasulullah ditegur Allah Swt dengan turunnya ayat tersebut sehingga Habibah dipanggil kembali untuk menyampaikan wahyu yang baru saja disampaikan lewat Malaikat Jibril itu.
Alhasil, ketika istri nusyuz, solusi yang diberikan Al-Qur’an adalah, memberikan nasihat yang lembut, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.
Memukul dalam ayat ini juga memiliki syarat dan ketentuan dan harus dijabarkan dengan ilmu tafsir. Pasalnya, jika terjemahkan secara tekstual, seolah Al-Qur’an membolehkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Padahal, sebaliknya, pemberian opsi “pukullah istrimu” itu merupakan pilihan akhir setelah usaha menasihati dan pisah ranjang yang bertujuan sebagai upaya takdib (mendidik), bukan takzir (menghukum).
Fakhru Razi dalam Mafatihul Ghaib mengatakan, memukul istri yang nusyuz harus dengan niat mendidik, tidak boleh menyakitkan, tidak memukul di area wajah atau bagian tubuh yang vital, tidak boleh memukul di luar rumah, tidak boleh berbekas, tidak boleh ada lebam, dan maksimal ukuran benda untuk memukul adalah seukuran siwak (sikat gigi).
Syarat lain dari diperbolehkan memukul istri, dalam I’anah at-Thalibin, adalah tidak didahului oleh pertikaian. Bila terjadi pertikaian, maka haram memukul meskipun dengan siwak dan bertujuan mendidik.
Ditegaskan dalam Tuhfatul Muhtaj bahwa syarat boleh memukul istri adalah tidak boleh menimbulkan rasa sakit hati atau direndahkan. Intinya, Islam melarang suami memukul perempuan, seperti halnya Nabi Muhammad yang semasa hidup tidak pernah memukul istrinya atau budak-budak perempuannya.
Sebaliknya, jika nusyuz terjadi di pihak suami, maka solusinya adalah:
وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
“Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 128)
Sebagaimana nasihat bagi istri yang nusyuz, hal yang serupa juga berlaku ketika terjadi pada suami. Namun, jika istri sudah tidak mampu menasihati suami yang nusyuz, maka solusinya adalah mendatangkan orang yang bijaksana untuk turut memberikan menasihat. Orang itu bisa dari pihak orang yang disegani suami dan menasihati agar tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan istrinya menderita sebagaimana dalam Al-Qur’an:
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35)
Langkah kedua adalah ash-shulhu (perdamaian). Imam Nawawi mengatakan, jika telah jelas tanda-tanda nusyuz pada suami, maka tidak ada salahnya bagi keduanya mengadakan shulh (perdamaian). Perdamaian itu bisa dilakukan dengan cara merelakan haknya tidak diberikan.
Namun, istri tidak seharusnya berdiam diri dan tidak berpikir logis dengan memaafkan nusyuz suami yang dilakukan berulang kali. Apabila sang suami tetap nusyuz sekali pun semua langkah yang telah disebutkan telah digunakan, maka sang istri dapat mengadukan kepada pihak yang dapat menyelesaikan permasalahan mereka, seperti ke konsultan hukum atau mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Seterusnya pengadilan akan mengambil tindakan yang sewajarnya dalam menyelesaikan nusyuz suami.
Bila seorang istri melihat pada suaminya sesuatu yang tidak diridai Allah untuk melanjutkan hubungan perkawinan, sedangkan suami tidak merasa perlu untuk menceraikannya, maka istri dapat meminta perceraian dari suaminya dengan cara khulu’ (gugat cerai).
Ditelisik dari hukum tentang syiqaq dan nusyuz tersebut, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa syiqaq berupa contoh-contoh nusyuz itu mesti dijawab dengan melakukanlah langkah-langkah sesuai anjuran Al-Qur’an. Namun, jika keduanya sama-sama tidak dapat mempertahankan rumah tangga meskipun telah berkali-kali meminta maaf, maka diperbolehkan berpisah agar bisa saling berhenti menyakiti. Wallahua’lam bi al-sawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.