Assalamualaikum. Wr. Wb.
Kiai Alam dan Ikhbar.com, perkenalkan saya saya Erik Subagyo dari Jakarta.
Saya ingin bertanya, apakah ada kriteria atau jatah khusus nafkah untuk istri? Apakah nafkah sudah cukup diberikan ketika hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? Bagaimana menurut fikih jika istri menuntut nafkahnya secara khusus untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, semisal pakaian, skincare, dan lain-lain. Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Baca: Nafkah Rekreasi menurut Fikih, Apakah Termasuk Biaya Tiket Konser Coldplay Istri?
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb
Bapak Erik di Jakarta yang saya hormati. Terima kasih atas pertanyaannya.
Dalam perkembangan fikih klasik, konsep nafkah awalnya hanya terbatas pada sandang, pakan, dan papan. Namun, Imam Nawawi kemudian memperluasnya menjadi enam bagian, termasuk makanan, lauk-pauk, asisten rumah tangga, pakaian, tempat tinggal, dan alat kebersihan. Di dalam Al-Qur’an sendiri, kata “nafkah” disebutkan sebanyak 57 kali dengan makna yang bervariasi. Di dalamnya bisa bermakna zakat, mahar pernikahan, nafkah keluarga, sedekah, berkah, pembelanjaan, hingga sebuah pemberian mutlak.
Selanjutnya, makna nafkah terus berkembang seiring waktu. Pertama, nafkah memiliki makna sedekah serupa dengan hadiah dan hibah. Kedua, konsep ini berkembang menjadi kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri dan anak dengan tambahan pemberian anak kepada orang tua. Saat mazhab keempat muncul, konsep nafkah lebih terstruktur, terutama dalam bentuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Dengan majunya teknologi dan bertambahnya kebutuhan, konsep nafkah pun turut semakin kompleks. Misalnya, biaya pendidikan dianggap bagian dari nafkah berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Nafkah menjadi tanggung jawab bersama suami dan istri. Di zaman modern, peran perempuan semakin signifikan, baik sebagai ibu rumah tangga maupun dalam manajemen keuangan keluarga. Kehidupan modern juga memengaruhi makna nafkah, tidak hanya mencakup kebutuhan dasar, tetapi juga keinginan dan kesenangan keluarga.
Berkembangnya konsep pemberian nafkah dalam masyarakat modern dipengaruhi faktor perkembangan zaman. Beberapa masyarakat mempersepsikan bahwa tujuan utama pemberian nafkah adalah untuk mensejahterakan keluarga. Sejahtera diartikan sebagai kemajuan keluarga dari segi nasib, pekerjaan, dan terutama pendidikan anak yang diharapkan lebih baik dari generasi sebelumnya.
Selain mensejahterakan, persepsi lain juga menyebutkan bahwa memberikan nafkah adalah bentuk tanggung jawab terhadap keluarga. Ini terutama berlaku jika istri tidak bekerja atau berperan sebagai ibu rumah tangga. Suami dianggap sebagai mesin penghasil nafkah dan bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan keluarga, dengan harapan agar kondisi keluarga meningkat dari generasi sebelumnya.
Baca: Al-Zahrawi, Dokter Muslim Penemu Kosmetik dan Skincare
Persepsi lain juga menyatakan bahwa tujuan pemberian nafkah adalah melindungi keluarga dari berbagai risiko dan bahaya, terutama dari kelaparan, kesenjangan sosial, dan lingkungan yang tidak baik. Perlindungan ini menjadi totalitas dari semua anggota keluarga, termasuk suami, istri, orang tua, bahkan hingga anak.
Dengan demikian, pemberian nafkah dalam konteks modern tidak hanya mengacu pada pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi juga mencakup aspirasi untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga, memberikan tanggung jawab, dan melindungi mereka dari berbagai risiko.
Dalam konteks zaman modern, batas dan ukuran nafkah telah berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan keluarga. Jika dahulu nafkah terbatas pada akses tempat tinggal, kini melibatkan berbagai elemen seperti biaya listrik, air, renovasi, kepemilikan kendaraan pribadi, dan aspek lainnya. Dengan demikian, konsep nafkah telah melampaui batas tradisional untuk mencakup segala kebutuhan yang relevan dengan kehidupan kontemporer.
Penjawab: Dr. KH Ahmad Alamuddin Yasin, Pakar Hukum Keluarga Islam, Pengasuh Pondok Darussalam Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat.