Assalamualaikum. Wr. Wb
Ikhbar.com dan Kiai Ghufron, perkenalkan, saya Ariya Wahyu Ekaputra, dari Nusa Tenggara Barat (NTB).
Saya ingin bertanya, Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat (21 April 2023), sehingga di hari itu dilarang berpuasa. Nah, bagaimana dengan pengikut keputusan pemerintah/Nahdlatul Ulama (NU), yang misalnya, menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Sabtu? Apakah Jumat tetap berpuasa? Karena banyak juga yang melarang puasa di hari Jumat (Hari Lebaran ijtihad Muhammadiyah) meskipun bagi orang-orang yang mengikuti keputusan pemerintah/NU. Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Jawaban
Terima kasih, Bapak Ariya di NTB.
Tahun ini, yakni tahun 1444 H bertepatan dengan 2023 M, ada kemungkinan terjadi perbedaan penetapan hari raya Idulfitri antara organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam Muhammadiyah dengan pihak pemerintah yang didukung mayoritas kaum Muslim di Indonesia.
Perbedaan itu sebenarnya bermuara pada satu konsep yang menjadi pijakan untuk menentukan awal bulan Syawal. Pihak Muhammadiyah menggunakan metode hisab (kalkulasi matematika astronomi), sementara mayoritas Muslim yang dijadikan pijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag), itu disamping juga menggunakan metode hisab, kalkulasi itu harus dibuktikan secara riil dengan menggunakan metode rukyat (observasi) atau melihat hilal secara langsung.
Selanjutnya, yang harus kita kaji adalah apakah dalam menentukan awal bulan Syawal itu harus berpijak pada metode hisab atau rukyat?
Dalam al Durusu al Falakiyah dijelaskan, bahwa secara awam (umum) maupun ahlus syar’i (orang yang ahli syariat) itu lebih layak menjadikan rukyat sebagai penentu awal bulan, bukan dengan hisab. Alasannya, karena rukyat adalah amrun zahirun (sesuatu yang jelas) yang bisa diketahui semua orang, baik secara khusus maupun orang awam.
Jadi, secara umum orang mampu untuk mengetahui keberadaan awal bulan dengan cukup lewat cara melihat. Sementara metode hisab tidak bisa diketahui hasilnya kecuali oleh afrad atau personal tertentu yang kecenderungannya hanya dimiliki orang yang sudah mumpuni atau ahli dalam metode tersebut. Sementara, secara syariat, Allah Swt memerintahkan manusia selalu dengan sesuatu yang diketahui khalayak umum.
Itu artinya, jika untuk konsumsi umum, maka yang menjadi penentu awal bulan ialah dengan menggunakan rukyat, seperti yang dijadikan patokan pemerintah untuk kemudian mengingormasikan hasilnya kepada masyarakat. Sedangkan jika secara khusus atau personal, maka bagi pribadi ahli hisab dibolehkan untuk mengamalkan sesuai dengan hasil kalkulasi hisab yang ia lakukan. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa dia wajib mengamalkannya.
(تنبيه) العرب واهل الشرع يعتبرون اول الشهر بالرؤية دون الحساب لان الزؤية امر ظاهر يعرفه الخاص والعام بخلاف الحساب فلا يعرفه الا الافراد، والشارع انما يأمر الناس بما بعرفه جماهيرهم، هذا بالنسبة لعموم الناس واما الخصوص فيجوز للحاسب أن يعمل بحسابه وقيل يجب ذلك وكذلك لمن صدقه
(الدروس الفلكية)
“(Pengingat) secara umum orang Arab dan ahli syariat menjadikan rukyat sebagai penentu awal bulan, bukan dengan hisab. Alasannya karena rukyat adalah hal yang jelas yang bisa diketahui oleh orang khusus maupun orang awam. Berbeda dengan hisab yang hanya diketahui oleh beberapa orang saja (ahli hisab). Sementara Pembuat syari’at (Allah Swt) memerintahkan manusia hanya dengan hal yang diketahui orang banyak, demikian ini berlaku untuk umumnya masyarakat. Adapun secara khusus, maka bagi ahli Hisab pribadi boleh mengamalkan hasil hisabnya. Malahan, ada pendapat yang mengatakan wajib mengamalkannya, begitupun bagi orang yang memercayainya. (Al-Durusu al Falakiyah)
Jadi, pada dasarnya baik metode rukyat maupun hisab, keduanya dibenarkan secara syariat. Bedanya, rukyat berlaku untuk konsumsi publik karena bisa diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat, sementara hisab hanya berlaku untuk pribadi ahli hisab dan orang-orang atau komunitas tertentu yang memercayainya.
Meskipun begitu, tentunya akan lebih elegan dan indah jika pendapat pribadi atau kelompok disisihkan sejenak demi menjaga kebersamaan. Sebab, menjaga kebersamaan lebih penting daripada pendapat pribadi.
Kita, sudah selayaknya kembali pada kaidah fikih:
حكم الحاكم يرفع الخلاف
“Keputusan hakim (Pemerintah, dalam hal ini Kemenag) mestinya mampu menghilangkan pro-kontra).”
Baca: Cara Bijak Menyikapi Perbedaan Hasil Penetapan Awal Ramadan versi NU dan Muhammadiyah
Permasalahan yang muncul berikutnya adalah bagaimana ketika yang menggunakan metode hisab berlebaran di hari Jumat, sementara yang menggunakan metode rukyat itu masih melakukan puasa. Apakah masyarakat umum yang mengikuti keputusan 1 Syawal mengacu pada hasil metode rukyat tetap melaksakan puasa di hari tersebut, sementara di lain pihak hari itu adalah hari raya Idulfitri yang tentunya tidak diperkenankan untuk berpuasa?
Guna menjawab permasalahan ini, maka kita harus mengetahui konsep dasar dalam ushul fiqih. Dalam Syarh Waraqat dijelaskan bahwa setiap mujtahid (perumus dan pengambil keputusan hukum) itu bisa dianggap benar berdasarkan bahwa “Hukum Allah yang berlaku adalah berdasarkan ketetapan hukum yang sesuai dengan hasil ijtihad seorang mujtahid yang diikutinya.”
(ومنهم من قال كل مجتهد فى الفروع مصيب) بناء على أن حكم الله فى حقه وحق مقلده ما ادى اليه اجتهةده
شرح الورقات ص ٢٣
“Sebagian ulama mengatakan bahwa setiap mujtahid dalam masalah furu’iyah (cabang) itu dianggap benar berdasarkan ketentuan bahwa hukum Allah bagi haknya mujtahid dan Muqallid (pengikutnya) adalah sesuatu yang dihasilkan dari hasil ijtihadnya (Syarh Waraqat, hal 23)
Itu artinya untuk orang yang menggunakan metode rukyat, maka di hari Jumat tersebut masih dihukumi masuk bulan Ramadan serta masih memiliki kewajiban untuk menjalankan ibadah puasa. Sebaliknya, bagi yang menggunakan metode hisab dan orang-orang memercayainya, maka di hari Jumat itu tidak boleh melaksanakan puasa karena hukum yang berlaku bagi mereka adalah ketentuan hukum sesuai dengan hasil ijtihad yang menyatakan bahwa hari tersebut merupakan hari raya Idulfitri sehingga haram untuk berpuasa.
Hal ini berbeda dengan pengertian yaum syak (hari keragu-raguan). Yaum syak hanya berlaku pada tanggal 30 Syakban ketika kondisi cuaca tidak mendukung untuk melihat hilal sehingga ditetapkan ikmal (menyempurnakan Syakban menjadi 30 hari) sehingga ditetapkan pada kondisi semula sebelum tanggal itu, yaitu belum wajib berpuasa.
Selain itu, larangan puasa di yaum syak juga hanya berlaku untuk puasa sunah, bukan wajib. Itu pun tidak berlaku bagi orang yang punya rutinitas puasa sunah, seperti orang yang rutin berpuasa Senin dan Kamis atau puasa Dawud. Ketika bertepatan dengan yaumu syak, mereka tetap diperbolehkan puasa.
Jadi status yaumu syak tidak berlaku pada 30 Ramadan. Kalau toh berlaku, maka istishbul hal (mengembalikan pada kondisi semula sebelum tanggal 30 Ramadan, yaitu tanggal 29 Ramadan yang masih mewajibkan berpuasa, bukan berbuka. Wallahu a’lam bis shawab.
Penjawab: Kiai Ghufroni Masyhuda, Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat dan Anggota Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon.