Ikhbar.com: Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah jauh-jauh hari menetapkan 1 Ramadan 1444 H jatuh pada Kamis, 23 Maret 2023. Penetapan itu diambil berdasarkan metode hisab wujudul hilal (perhitungan) yang telah menjadi pakem warga persyarikatan dalam menentukan awal bulan penanggalan hijriah.
Berbeda dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang memakai metode rukyatul hilal (melihat bulan), penetapan 1 Ramadan baru bisa dilakukan di setiap pengujung bulan Syakban.
Perbedaan cara kedua organisasi keagamaan Islam raksasa itu pun kerap melahirkan keputusan yang berbeda pula. Perbedaan awal puasa ini tidak jarang mengundang kebingungan di masyarakat tingkatan awam.
Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Kiai Ghufroni Masyhuda meminta masyarakat untuk tidak perlu ragu dan bingung atas keputusan NU dan Muhammadiyah yang sering berbeda dalam menentukan awal puasa. Sebab, kedua organisasi yang diisi para ulama dan cendekiawan itu telah melandasi keputusan tersebut dengan berbagai argumentasi yang kuat dan valid.
“Persoalan penetapan awal Ramadan itu di dalam fikih masuk pada kategori furu’iyah (cabang) syariat yang rentan mengandung khilafiyah (perbedaan),” ungkap Kiai Ghufron, saat menjadi narasumber Hiwar Ikhbar dengan tema “Yang Kerap Terlupa dari Fikih Puasa” dalam live Instagram @ikhbarcom, Jumat, 3 Maret 2023.
Sementara, lanjut Kiai Ghufron, ada ungkapan dalam perkara fikih memang didominasi masalah-masalah khilafiyah.
“Oleh karena itu, ulama-ulama ahli fikih biasanya cenderung moderat, karena terbiasa disuguhkan opsi atau pilihan-pilihan. Hal ini yang mengajarkan kita agar bisa menghormati dan menghargai pendapat orang lain,” katanya.
Namun, sebagai solusi praktis bagi yang merasa kebingungan dengan perbedaan tersebut, Kiai Ghufron menyarankan agar masyarakat mengikuti keputusan pemerintah berdasarkan hasil sidang isbat.
“Karena dalam literatur fikih disebutkan bahwa ketetapan awal Ramadan bisa ditetapkan oleh qadi atau pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag),” katanya.
Kiai Ghufron juga menguatkan pendapat itu dengan menukil kaidah fikih:
حكم الحاكم يرفع الخلاف
“Ketetapan hakim (pemerintah) itu untuk menghilangkan atau menghaluskan perbedaan.”
“Bagi masyarakat awam yang bingung, boleh lepas dulu ke-NU-an atau ke-Muhammadiyah-annya, lalu menyerahkan sepenuhnya pada keputusan pemerintah,” katanya.