Assalamualaikum. Wr. Wb
Redaksi Ikhbar.com dan Kiai Ghufron, saya Asti, dari Kota Bandung, Jawa Barat.
Pada hari raya Idulfitri, umat Islam dianjurkan untuk saling memaafkan. Di dalam fikih, adakah prosedur, tahapan, atau cara-cara meminta maaf dan memberikan maaf? Sehingga, persoalan-persoalan adami itu benar-benar selesai, bukan hanya ceremony belaka. Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaannya, Ibu Asti, di Bandung.
Dalam literatur fikih, salah satu dari syarat bertobat adalah keluar dari kesalahan yang terkait dengan hak adami (manusia), baik yang berhubungan dengan dengan harta (seperti utang yang tak kunjung dibayar, ghasab, mencuri, atau yg lainnya), kehormatan (seperti ghibah/menggunjing, memfitnah dengan berita hoaks, dan lain-lain), atau hal-hal sejenisnya.
Keterengan itu tertera dalam Hasiyyah al Jamal ala Syarh al Minhaj, karya Syekh Sulaiman bin Umar bin Manshur al-`Ajili al-Misri:
(قوله بتوبة) وهي كما يأتي في الشهادات إن شاء الله تعالى ترك الذنب والندم عليه وتصميمه على أن لا يعود إليه وخروج عن مظلمة قدر عليها بنحو تحلله ممن اغتابه أو سبه ورد المظالم إلى أهلها بمعنى الخروج منها سواء كان وجوبه عليه موسعا أم مضيقا كأداء دين وقضاء فوائت وغيرهما
“(Pernyataan beliau ‘bit taubah’) sebagaimana yang insyaalloh akan dijelaskan dalam masalah kesaksian, bahwa taubat adalah meninggalkan dosa dan menyesalinya dan bertekad untuk tidak kembali melakukannya, dan keluar dari kezaliman/kesalahan yang mampu dia lakukan dengan cara minta dihalalkan/dimaafkan kepada orang yang ia gunjing atau ia hina, dan mengembalikan hak-hak kezaliman kepada yang berhak. Dalam arti, keluar darinya baik kewajibannya bersifat longgar maupun sempit, seperti membayar utang, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan lain-lain.
Adapun cara keluar dari kesalahan-kesalahan tersebut, jika terkait dengan harta, maka caranya adalah dengan mengembalikan harta tersebut kepada mustahiknya (orang yang berhak). Sedangkan untuk yang berhubungan dengan kehormatan/reputasi seseorang, entah karena ghibah, fitnah atau yang lainnya adalah dengan istihlal atau memohon maaf langsung kepada yang bersangkutan, baik secara lisan (bertemu atau lewat telepon) maupun tulisan (pesan instan, email, atau sejenisnya).
Penjelasan ini ada dalam I’anatut Thalibin, karya Syekh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Muhammad Arsyad Al Banjari:
(وخروج عن ظلامة آدمي) من مال أو غيره فيؤدي الزكاة لمستحقيها ويرد المغصوب إن بقي وبدله إن تلف لمستحقه ويمكن مستحق القود وحد القذف من الاستيفاء أو يبرئه منه المستحق للخبر الصحيح: من كانت لاخيه عنده مظلمة في عرض أو مال فليستحله اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم، فإن كان له عمل يؤخذ منه بقدر مظلمته وإلا أخذ من سيئات صاحبه
“(Keluar dari tindakan zalim terhadap manusia), baik itu dalam bentuk harta atau hal lainnya, maka wajib membayar zakat kepada yang berhak menerimanya, dan mengembalikan barang hasil ghasab jika masih ada dan diganti jika sudah rusak kepada pemiliknya yang berhak. Dan mempersilahkan hukuman qishash (hukuman bagi pelaku pembunuhan berencana) dan had qadzaf (hukuman bagi pelaku pencemaran nama baik dengan tuduhan zina tanpa bukti yang akurat) kepada pihak korban untuk memenuhinya atau memaafkannya berdasarkan hadis sahih, ‘Barangsiapa yang mempunyai kesalahan pada saudaranya dalam hal kehormatan atau harta, maka hendaklah sekarang minta maaf sebelum datangnya masa yang tidak ada dinar & dirham (baca: uang), sebab di hari itu (hari akhir) jika ia punya amal baik maka akan diambil sesuai kadar kezalimannya, dan jika tidak punya amal baik maka kejelekan-kejelekan orang yang terzalimi akan ditimpakan kepada orang yang menzaliminya.
Inisiatif-inisiatif itu penting dan harus dilakukan, sebab, Rasulullah Muhammad Saw telah memperingatkan kita melalui sabdanya:
من كانت لاخيه عنده مظلمة في عرض أو مال فليستحله اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم، فإن كان له عمل يؤخذ منه بقدر مظلمته وإلا أخذ من سيئات صاحبه
“Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal salih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun, jika ia tidak memiliki amal salih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zalimi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam.
Penjawab: Kiai Ghufroni Masyhuda, Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat dan Anggota Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon.