Assalamualaikum. Wr. Wb.
Ning Uswah, saya Dewi Mulyani dari Kuningan, Jawa Barat.
Izin tanya. Lebaran adalah momentum bagi keluarga untuk saling menguatkan silaturahmi. Bagi seorang istri, apakah harus mendahulukan sungkem (bersalaman) dengan mertua (orang tua suami) atau orang tua sendiri? Karena, konon ada hadis yang menyebut bahwa istri adalah milik suami setelah menikah, bukan lagi milik orang tuanya.
Mohon pencerahan serta pertimbangannya scara ideal dalam hukum Islam? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Baca: Benarkah Islam Melarang Umatnya Banyak Bertanya?
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Kak Dewi Mulyani, dari Kuningan, Jawa Barat.
Hari Raya Idulfitri tinggal menghitung hari. Sudah banyak pula yang mudik untuk bersilaturrahim ke orang tua di kampung halaman.
Serangkaian kegiatan pada hari Lebaran telah menjadi adat istiadat bagi masyarakat Indonesia, seperti memakai baju baru, memberikan angpau kepada anak-anak, saling meminta maaf, maupun berkunjung ke sanak keluarga.
Nabi Muhammad Saw juga memberikan baju baru saat hari raya, serta berkunjung ke rumah sahabat sambil mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim. Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan amal ibadah kalian semua.”
Bagi masyarakat Indonesia, ucapan itu lebih lazim disampaikan lewat kalimat “Minal aidin wal faizin.” Banyak yang mengira, ucapan itu mengandung makna “Mohon maaf lahir dan batin.” Padahal arti yang sebenarnya adalah “Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang kembali (ke fitrah/suci) dan menjadikan kita orang-orang yang mendapatkan kemenangan.”
Salah satu momen yang dramatis saat hari raya adalah sungkeman kepada orang tua maupun mertua. Ketika menjadi seorang anak, yang lebih utama untuk berbuat baik adalah kepada orang tua. Namun, setelah beruhah status telah menikah, sasaran berbuat baik meluas kepada orang tua sekaligus mertua tanpa harus memberikan penomoran tentang siapa yang didahulukan. Atau dalam konteks ini, siapa yang mesti disungkemi terlebih dahulu.
Baca: Selalu Salah di Mata Mertua? Ini Saran Ning Uswah
Sungkem di hari raya bukanlah hal yang wajib. Sungkem hanyalah tradisi yang dinilai baik dalam tatanan dan norma masyarakat Indonesia. Di dalam sungkem ada nilai-nilai kesunahan, seperti meminta maaf dan meminta rida dari keluarga yang lebih tua.
رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَتَاهُ أَخُوْهُ مُتَنَصِّلاً فَلْيَقْبَل ذَلِكَ مِنْهُ مُحِقّاً كَانَ أَوْ مُبْطِلاً، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Abu Hurairah R.a berkata, telah bersabda Rasulullah Saw, ‘Barang siapa pernah melakukan kezaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizalimi) kemudian dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari).
Baca: Doa-doa Mudik Lebaran
Meminta maaf dan memaafkan pada saat momen sungkeman adalah suatu hal yang mulia.
Rasulullah Saw bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ، إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Sedekah itu tidak mengurangi harta dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya), kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)-nya (di dunia dan akhirat).” (HR. Muslim).
Skala prioritas prosesi sungkem bukan terletak kepada siapa sosok yang hendak didatangi, tetapi lebih kepada pertimbangan waktu, situasi, kondisi, dan juga jarak.
Toh, kedekatan raga pada umumnya berpeluang lebih besar menimbulkan luka pada jiwa atau segala bentuk kekhilafan lainnya.
Tinggal dengan siapa yang paling dekat secara fisik harus menjadi dasar kewajiban seseorang untuk mendahulukan permohonan maaf.
Apabila berada dalam lingkungan mertua, bisa terlebih dulu sungkeman kepada kedua orang tua pasangan kita tersebut, baru kemudian dilanjutkan dengan bersilaturrahim kepada tetangga terdekat. Pasalnya, selama hidup bertetangga sangat mungkin terdapat gesekan atau ketersinggungan baik disengaja maupun tidak disengaja. Keimanan kita diperhitungkan oleh Allah lewat perlakuan baik terhadap tetangga.
وَاللَّه لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.’ Sahabat bertanya, ‘Siapa, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari).
Hari Raya adalah momen sebaik-baiknya untuk menguatkan silaturrahim, menyambung kasih sayang antar-kerabat, tetangga, dan sanak saudara. Hidup berdampingan dengan keluarga dan tetangga harus menjadi jiwa-jiwa pemaaf. Luaskan maaf untuk mereka yang pernah menyakiti dan berikan maaf untuk mereka yang tidak sengaja dianggap telah menyakiti.
Selagi ada alat komunikasi, manfaatkan dengan baik menghubungi orang tua yang jauh di sana untuk sekadar mengabari atau menyanggupi akan datang silaturrahim pada waktu yang ditentukan setelah bersilaturrahim kepada keluarga yang dekat (jaraknya), yakni mertua dan tetangga. Komunikasi yang baik kepada orang tua, meskipun lewat telepon seluler, juga bagian dari bentuk birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua). Hal ini berlaku sebaliknya, yakni ketika yang berada pada jarak yang lebih jauh justru mertua.
Baca: 30 Ucapan Selamat Idulfitri dalam Bahasa Arab dan Artinya, Cocok untuk WA dan Medsos (1)
Sedangkan salah satu hadis yang seakan-akan memuat kesimpulan bahwa seorang istri adalah milik suami, bukan lagi orang tuanya, ialah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ؟ قَالَ: زَوْجُهَا قُلْتُ: فَأَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الرَّجُلِ؟ قَالَ: أُمُّهُ
“Dari ‘Aisyah ra, beliau bertanya pada Nabi saw, ‘Wahai Rasulullah saw, siapakah yang paling berhak atas seorang perempuan?’ Nabi saw menjawab, ‘Suaminya.’ Aisyah bertanya lagi, ‘Kemudian siapakah yang paling berhak atas seorang laki-laki?’ Nabi saw menjawab, ‘Ibunya.” (HR. Hakim).
Hadis ini menjadi multitafsir di kalangan masyarakat. Sebagian menganggap bahwa hadis ini turut melegitimasi argumen “istri milik suami, suami milik ibunya,” sehingga yang justru berpotensi menimbulkan kesenjangan hubungan antara menantu perempuan dan ibu mertua.
Di dalam Al-Qur’an, istilah kepemilikan yang dalam tradisi masyarakat Arab disebut “ba’lun” telah direduksi menjadi “zawaj” (pasangan). Artinya, kedua pasangan suami-istri merupakan khalifah fil ardl untuk bersama-sama mengusahakan sakinah, mawadah, wa rahmah, serta mewujudkan kemaslahatan pada seluas-luasnya.
Konsep kepemilikan istri pada masa jahiliyah telah dikritik oleh Islam dan disyiarkan juga oleh Sayidina Umar bin Khattab Ra.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – قَالَ :قَالَ عمر بن الخطاب رضي الله عنه: – كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ لاَ نَعُدُّ النِّسَاءَ شَيْئًا، فَلَمَّا جَاءَ الإِسْلاَمُ وَذَكَرَهُنَّ اللَّهُ، رَأَيْنَا لَهُنَّ بِذَلِكَ عَلَيْنَا حَقًّا.
“Dari Ibn Abbas ra, berkata, ‘Umar bin Khattab ra berkata, Dulu, kami, pada masa Jahiliyah, tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Kemudian ketika Islam turun dan Allah mengakui mereka, kami memandang bahwa merekapun memiliki hak atas kami.” (HR. Bukhari).
Anak perempuan dinilai sama berharganya sebagaimana anak laki-laki di mata keluarganya. Seorang menantu haruslah menjadi anugerah bagi mertua, dan mertua harus menjadi anugerah bagi menantunya.
Tentang status menantu perempuan, Rasulullah Saw telah berwasiat kepada kita semua untuk memperlakukannya secara bermartabat. Nabi Saw bersabda:
أَلاَ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
“Ingatlah, saling berwasiatlah kalian semua, untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka sering dianggap sebagai tawanan, padahal tidak ada hak bagi kalian kecuali untuk kebaikan (mereka) tersebut.” (HR. Tirmidzi).
Wallahu a’lam bis sawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.