Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Ning Uswah dan Ikhbar.com, saya Fitri (Mohon izin, demi kenyamanan, tidak memakai nama sebenarnya) dari Bogor, Jawa Barat. Saya ingin bercerita, mungkin saya termasuk perempuan yang kurang beruntung. Pasalnya, sebagai seorang menantu, saya jarang mendapatkan perlakuan yang baik dan menyenangkan dari pihak mertua. Salah maupun tidak, saya sering dituduh sebagai biang kerok dari setiap kejadian yang tidak menguntungkan keluarga. Sementara suami saya pun lebih condong untuk menerima pandangan dan cerita-cerita versi orang-tuanya.
Saya ingin meminta saran, Ning, apa yang sebaiknya saya lakukan, tentunya, selain bersabar. Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Terima kasih, Kak Fitri di Bogor.
Begini, cukup banyak kita jumpai konflik antara ibu mertua dan menantu perempuan. Di media sosial, bahkan begitu banyak curhatan menantu tentang sikap atau perlakuan kurang baik dari mertuanya, terutama mertua perempuan.
Jika kita kilas balik, ternyata terjadinya perselisihan antara mertua dan menantu perempuan ini sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial patriarki. Mengapa bisa begitu? Karena bagi seorang ibu, menantu perempuan bisa terlihat seperti pesaing untuk mendapatkan perhatian anak laki-lakinya.
Lalu, bagaimana Islam memandang relasi semacam ini?
Baca: 5 Prinsip Kesalingan Suami-istri
Dalam Islam, prinsip dasar bangunan relasi adalah menjadi anugerah bagi semua pihak. Saat menjadi menantu, berusahalah menjadi anugerah bagi mertua. Dan saat menjadi seorang mertua, berusahalah menjadi anugerah bagi menantu.
Tetapi tentu saja ini menghendaki ikhtiar tak berkesudahan bagi semua pihak untuk terus menentukan sikap yang tepat. Dalam Al-Qur’an banyak dijelaskan bahwa relasi antarhamba harus bertumpu berdasarkan rasa ketakwaan, bukan berdasarkan atas kepemilikan. Seorang ibu tidak boleh menganggap bahwa anaknya adalah miliknya, begitu pula dengan istri atau suami tidak boleh menganggap pasangan sebagai sebuah kepemilikan. Kita semua hanya hamba Allah Swt.
Dalam QS. Al-Maidah: 8, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمٰةِ اللهِ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam memperlakukan istri, karena sesungguhnya kalian meminang mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan vagina mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muttafaq Alaih)
Tentu saja, mengomunikasikan dengan baik kepada suami menjadi hal yang patut dilakukan demi mengurai persoalan ini, meskipun memang, komunikasi yang baik tidak selamanya mampu diterima orang lain yang memiliki pendapat teguh tentang prioritas-prioritas kebaikan antara ibu dan istri.
Jika hal itu sudah dilakukan dan tetap tidak memberikan sebuah jawaban, maka, self love (memperlakukan diri secara terhormat) bagi perempuan bisa menjadi bagian dari terapi paling sederhana dalam menghadapi permasalahan dengan keluarga. Caranya adalah dengan sedikit tidak memedulikan hal-hal yang dapat menganggu kebahagiaan kita, dan tetaplah fokus terhadap diri sendiri.
Teruslah berbuat baik terhadap siapa pun tanpa berharap orang lain bisa berbalik berbuat baik kepada kita. Sebab, sebuah kebaikan tidak akan pernah lupa jalan untuk pulang.
Dalam QS. An-Nahl: 97, Allah Swt berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan.”
Baca: Fikih Nikah Berkeadilan
Tetaplah berperilaku baik terhadap mertua dan suami, meskipun beliau-beliau tidak memberikan feedback (timbal balik) positif. Karena urusan baik terhadap mertua adalah kewajiban yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, sedangkan urusan mertua atau suami tidak berlaku baik biarlah menjadi tanggungjawab mereka di hadapan Allah juga.
Terakhir, teruslah berdoa agar segera dibukakan segala kemudahan. Semoga kita semua bisa terus menjaga ketakwaan kepada Allah Swt dalam setiap tindakan kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan sebagai apa saja. Semoga kita bisa selalu memastikan tindakan kita bermanfaat untuk diri sendiri sekaligus orang lain seluas-luasnya. Amin.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.