Ikhbar.com: Dunia dakwah kini menghadapi tantangan baru. Perubahan sosial, pesatnya teknologi, serta perbedaan karakter masyarakat membuat pendekatan menjadi kunci utama keberhasilan menyampaikan pesan dan ajaran Islam.
Demikian disampaikan KH Ahmad Zuhri Adnan, penceramah populer asal Cirebon, Jawa Barat yang telah hadir di ratusan panggung selama 15 tahun terakhir.
“Orang kalau sudah dekat, jangankan disuruh benar, disuruh salah pun mau,” kelakarnya, saat menjadi narasumber dalam Progrm Sinikhbar | Siniar Ikhbar, bertajuk “Metodologi Dakwah Kiai Zuhri” di Ikhbar TV, dikutip pada Senin, 2 Juni 2025.
Bagi Kiai Zuhri, demikian dikenal, dakwah bukan sekadar menyampaikan isi, tetapi membangun kedekatan. Tanpa pendekatan yang tepat, sebaik apapun isi ceramah bisa kehilangan daya pikatnya.
Baca: Kiai Zuhri Adnan: Selain Akhlak, Public Speaking Jadi Kunci Sukses Dakwah Rasulullah
Pembacaan karakter dan pengaruh instrumen
Sebagai penceramah yang aktif naik turun panggung sejak 2010, Kiai Zuhri tampaknya paham betul bahwa pendekatan tidak bisa disamaratakan. Setiap wilayah memiliki karakter khas. Pendengar di kota, berbeda dengan mereka yang berkeseharian di desa. Begitu pula antara masyarakat penutur bahasa Jawa dan Sunda.
“Intinya sama, semua ingin pencerahan. Tapi porsinya berbeda. Di kota, dakwah harus logis dan berbasis fakta. Di desa, bahasa harus lebih membumi dan emosional,” jelasnya.
Kemampuan membaca latar belakang sosial dan budaya menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Kesalahan membaca audiens bisa membuat pesan tidak sampai atau justru tertolak. Oleh karena itu, wajar jika Kiai Zuhri pun mengaku telah menyusun sendiri Standar Operasional Prosedur (SOP) sebelum naik panggung. Mulai dari tinggi panggung, tata letak jemaah, hingga jarak audiens dengan penceramah diatur secara detail.
“Kalau jarak terlalu jauh, komunikasi jadi tidak hidup. Kalau suasana tidak nyaman, isi ceramah pun tak akan tersampaikan dengan baik,” ujarnya.

Sebagian besar masyarakat menilai, salah satu kekuatan Kiai Zuhri terletak pada kemampuannya menciptakan suasana dakwah yang segar. Sosok yang juga mengasuh Pondok Pesantren Ketitang Cirebon ini kerap menyisipkan humor dalam ceramah. Bahkan, menurutnya, tidak jarang, kesalahan bahasa saat berdakwah di wilayah Sunda pun justru disambut tawa hangat dari jemaah.
“Humor bukan sekadar pelengkap, melainkan alat pendekatan yang efektif. Meski begitu, humor dalam dakwah tetap memiliki batas,” katanya.
Kiai Zuhri mengutip nasihat Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin bahwa bercanda tidak boleh ifrath (berlebihan), tidak mudawamah (terus-menerus), tidak menyerang pribadi, dan tidak vulgar. Bahkan Rasulullah Saw, kata Kiai Zuhri, juga menggunakan humor, tetapi selalu dibingkai dengan nilai ketakwaan.
“Rasulullah pernah bercanda dengan seorang nenek, mengatakan bahwa di surga tak ada orang tua. Tapi setelahnya beliau menjelaskan ayat bahwa semua di surga akan berusia muda,” tuturnya.
اِنَّآ اَنْشَأْنٰهُنَّ اِنْشَاۤءًۙ. فَجَعَلْنٰهُنَّ اَبْكَارًاۙ
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari itu) secara langsung, lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan.” (QS. Al-Waqi’ah: 35-36)
Menurutnya, bercanda dalam dakwah hanya instrumen. Tujuannya bukan untuk hiburan semata, tetapi untuk mendekatkan pesan dakwah kepada jemaah.
“Betapa banyak materi dakwah bagus, tapi jemaah tetap mengantuk karena cara penyampaiannya keliru,” ujarnya.
Baca: Hukum Komedi ‘Roasting’ menurut Islam
Tantangan menjaga kesegaran
Fenomena pendakwah “kota” yang tampil eksklusif di hotel dengan tiket mahal dan ribuan pengikut muda juga menjadi perhatian. Kiai Zuhri pun tampaknya tak antipati terhadap tren dan fakta tersebut. Menurutnya, ada alasan mengapa generasi muda cenderung tertarik pada pendakwah nontradisional.
Sosok yang juga didapuk sebagai Dewan Pakar Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon itu menilai, sebagian besar dari jemaah muda yang tertarik pada gaya dakwah modern biasanya memang tidak tumbuh di lingkungan pesantren. Istilah-istilah dari kitabut turats kitab kuning terasa asing di telinga mereka. Sementara pendakwah pesantren kerap menyampaikan materi yang dinilai terlalu berat atau tidak sesuai dengan konteks sosial generasi digital.
“Anak-anak muda itu lebih familier dengan norma sosial dibanding penjelasan berbasis fikih. Maka ketika diceramahi pakai istilah-istilah fikih, mereka kesulitan mencerna,” katanya.
Meski demikian, Kiai Zuhri menegaskan bahwa mengikuti tren bukan jaminan keberhasilan dakwah. Materi yang tidak mendalam, meskipun dikemas menarik, tidak akan bertahan lama.
“Sebagus apapun tampilannya, kalau isi kajiannya dangkal, berpotensi ditinggalkan jemaah,” ujarnya tegas.
Sebaliknya, Kiai Zuhri juga menegaskan bahwa kedalaman konten juga bukan segala-galanya. Semua harus dipadukan secara ideal dan proporsional.
“Kalau penceramah mengandalkan kitab Ihya Ulumuddin, itu tak akan habis dikaji hingga 50 tahun. Tapi yang mahal itu, bumbunya, instrumennya,” kata dia.
“Materi juga boleh sama, tapi penyampaiannya harus tetap segar. Kalau ceramah di tempat yang sama lebih dari dua kali, dan tanpa variasi gaya, jemaah pasti bosan,” sambungnya.
Untuk menjaga kesegaran itu, Kiai Zuhri rajin memantau media sosial (Medsos). Ia mengambil inspirasi dari TikTok, Facebook, dan Instagram untuk memperbarui contoh-contoh jenaka dan cerita ringan yang sesuai dengan tema dakwahnya. Potongan video pendek berdurasi satu hingga dua menit menjadi bagian penting dari strategi dakwah digitalnya.
Meskipun medsos memang mempercepat penyebaran pesan. Tapi, menurut Kiai Zuhri, pengaruhnya belum tentu mendalam. Sebaliknya, dia menilai bahwa saat ini media televisi masih menjadi “quality control” utama dalam persepsi publik.
“Kalau sudah tampil di TV, masyarakat akan lebih mudah menerima dan mengakui,” ujarnya.
Baca: AI adalah Masa Depan Dakwah Digital yang Efektif dan Personal
Tiga pilar dakwah
Menutup wawancara, Kiai Zuhri merangkum tiga hal yang harus dimiliki seorang penceramah. Pertama, materi dakwah harus mendalam. Kedua, penyampaian harus kontekstual sesuai waktu, tempat, dan karakter audiens. Ketiga, dakwah harus menyegarkan agar tidak membosankan.
Menyegarkan di sini bukan berarti menghibur semata. Bisa berupa cerita inspiratif, humor, atau bahkan gaya bahasa yang komunikatif. Tapi semuanya harus tetap berlandaskan Al-Qur’an, hadis, dan nilai-nilai etika Islam.
“Public speaking itu bukan soal suara keras atau gaya panggung. Tapi soal kemampuan menyampaikan yang mudah dipahami dan membekas di hati,” tuturnya.
Tiga pilar dakwah itu, menurut Kiai Zuhri akan membuat seorang penceramah berhasil menjembatani pesan-pesan klasik Islam dengan ruang dengar masyarakat modern. Bukan hanya karena isi ceramahnya, tetapi karena caranya memahami manusia.