Ikhbar.com: Para ilmuwan dan pelaku industri berlomba mengembangkan teknologi penyerapan karbon dari atmosfer. Hal itu merupakan upaya menghadapi ancaman pemanasan global, yang semakin melampaui target suhu yang ditetapkan dalam Perjanjian Iklim Paris 2015.
Salah satu upaya mutakhir dilakukan tim ilmuwan Amerika Serikat (AS) melalui proyek eksperimental bernama LOC-NESS. Dengan anggaran sekitar Rp160 miliar, mereka akan menebar larutan basa ke Samudra Atlantik lepas pantai Massachusetts.
Baca: Es Laut Global Capai Rekor Terendah, Ilmuwan Peringatkan Dampak Serius
Tujuannya adalah mengubah kimia air laut agar dapat menyerap lebih banyak karbon dioksida (CO₂).
Penyerapan karbon menjadi fokus global dengan tiga pendekatan utama: menyedot langsung CO₂ dari udara, meningkatkan kapasitas laut untuk menyerap karbon, dan memperluas penyerapan karbon di daratan.
“Banyak aktivitas dari sektor swasta, dan penting bagi ilmu pengetahuan untuk mengejarnya,” kata ahli geokimia dari Woods Hole Oceanographic Institution yang memimpin proyek LOC-NESS, Adam Subhas, dikutip dari Nature, pada Kamis, 24 April 2025.
Sejumlah perusahaan di AS membangun fasilitas “direct air capture” (DAC) berskala besar, termasuk proyek gabungan Occidental Petroleum dan Carbon Engineering di Texas yang ditargetkan menyerap 500.000 ton CO₂ per tahun.
Proyek ini sempat mendapatkan kucuran dana lebih dari Rp9 triliun dari pemerintahan Biden, tetapi pendanaannya kini dibekukan sejak Presiden Donald Trump kembali berkuasa.
Selain di daratan, para ilmuwan juga melirik laut sebagai medan tempur. LOC-NESS, yang didukung Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA), akan menguji dampak penambahan 50 ton natrium hidroksida di laut terhadap kemampuan laut menyerap karbon.
Baca: Suhu Bumi Melonjak Lebih Panas ketimbang Tahun Lalu
Jika terbukti efektif dan aman bagi ekosistem, pendekatan ini berpotensi mengurangi satu miliar ton CO₂ per tahun, setara emisi karbon tahunan Jepang.
Biaya teknologi ini diperkirakan lebih murah dibandingkan DAC yang mencapai Rp9 juta hingga Rp15 juta per ton karbon. Namun, tantangan utamanya tetap besar, yaitu kurangnya standar internasional, ketidakpastian pendanaan, dan pertanyaan ilmiah tentang efektivitas jangka panjang.
Meski teknologi penyerapan karbon tidak cukup untuk menghentikan krisis iklim secara utuh, banyak ahli sepakat bahwa solusi ini akan menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi jangka panjang menyelamatkan Bumi.