Dirut NU Online: Makna Dakwah dan Arti Literasi Perlu Diperdalam lagi

“Literasi itu bukan hanya soal buku,” tegasnya.
Ilustrasi dakwah dan literasi. UNSPLASH/Masjid MABA

Ikhbar.com: Kata “dakwah” selama ini kerap dimaknai secara sempit. Ia ditempatkan dalam kerangka kegiatan ceramah, khutbah atau tabligh akbar yang formal, bahkan seremonial. Padahal, realitas masyarakat yang semakin kompleks menuntut pendekatan dakwah yang lebih kontekstual.

Kurang lebih, inilah pandangan yang mengemuka dalam perbincangan pada program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Perihal Hamzah Sahal, dari Losari, Santri, hingga Literasi,” bersama Direktur Utama (Dirut) NU Online sekaligus pendiri alif.id, KH Hamzah Sahal.

Bagi Kang Hamzah, demikian ia akrab disapa, dakwah bukan sekadar menyampaikan pesan keagamaan melalui mimbar. Ia merupakan proses pencarian, penemuan, dan penyampaian nilai dengan pendekatan yang jujur dan autentik.

“Saya ini alumni Fakultas Syariah, tapi setelah lulus justru yang saya cari itu kata dakwah,” ujarnya, dalam tayangan di Ikhbar TV tersebut, dikutip pada Senin, 21 April 2025.

Baca: Menjaga Nilai Kepesantrenan dalam Industri Audio Visual

Kang Hamzah menilai, dakwah seharusnya berangkat dari keresahan. Bukan tren. Ketika seseorang merasa gelisah terhadap sesuatu, ia akan terdorong untuk menyampaikan pesan yang lahir dari proses pencarian dan pemahaman.

“Orang yang intensinya kuat, biasanya akan menulis tema yang sama berkali-kali. Itu tandanya ada sesuatu yang sedang ia cari,” katanya.

Dakwah dalam perspektif ini menjadi kerja lintas media. Bisa dalam bentuk tulisan, film dokumenter, hingga sekadar status media sosial (medsos) yang dirancang menghadirkan nilai bagi publik. Bahkan dalam banyak kasus, karya humor pun bisa menjadi bagian dari dakwah, sejauh ia memuat nilai dan makna.

“Saya itu malah dulu cita-citanya jadi cerpenis,” kata Kang Hamzah.

Ia mengaku tak berhasil menulis cerpen, tetapi justru menemukan jalannya lewat tulisan-tulisan humor dan esai-esai reflektif. Dalam pandangannya, dunia kepenulisan, pelatihan, dokumenter, dan siniar bukan ruang yang terpisah, melainkan satu kesatuan dari kerja dakwah yang berbasis literasi.

Dirut NU Online, KH Hamzah Sahal (Kanan), dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Perihal Hamzah Sahal, dari Losari, Santri, hingga Literasi” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: Menyeduh Spirit ‘Khairunnas Anfa’uhum lin-Nas’ ke dalam Secangkir Kopi

Literasi dulu dan kini

Istilah “literasi” kian terdengar di mana-mana. Namun, sepertinya tidak semua orang telah mampu memahaminya secara utuh.

Bahkan, kata tersebut dinilai telah mengalami keausan makna karena terlalu sering digunakan dalam konteks yang generik. Kang Hamzah mencatat bahwa istilah literasi kini kerap menjebak pemahaman publik hanya sebatas buku dan kemampuan membaca.

“Literasi itu bukan hanya soal buku,” tegasnya.

Literasi seharusnya dipahami sebagai kemampuan mengenali dan memahami sesuatu secara mendalam. Di masa kecilnya, Kang Hamzah tumbuh di Losari, sebuah kawasan yang menurutnya kaya akan budaya dan seni. Dari genjringan, drama, hingga pertandingan voli antar kampung, semua itu ia nilai sebagai bagian dari praktik literasi masyarakat.

Menurutnya, pemahaman literasi yang terlalu akademik justru menjauhkan masyarakat dari semangat belajar. Padahal, bagi sebagian masyarakat di daerah, pendekatan budaya justru lebih efektif. Ia menyebut salah satu kesenian panggung khas Cirebon bernama “umbul” (ada pula yang menamainya “masres“) sebagai contoh. Jika saja kesenian pentas drama berbumbu aksi laga tersebut bisa dikemas dalam kampanye literasi, maka semangat literasi akan lebih mudah diserap publik lokal.

Ia juga mengusulkan pencarian padanan kata untuk “literasi” agar lebih membumi.

“Kalau dikasih satu padanan kata yang lebih pas untuk orang Cirebon, orang Sunda, itu akan lebih ditangkap,” katanya.

Literasi, dengan demikian, bukan hanya tentang menulis dan membaca, tetapi tentang memahami hidup, menangkap makna, dan menyampaikan pengalaman.

Baca: Keluhuran Akhlak Kiai Pesantren Perlu Disyiarkan ke Publik

Dakwah dan literasi sebagai gerakan kultural

Dalam dunia pesantren, dakwah dan literasi sejatinya berjalan seiring. Dakwah tanpa literasi akan dangkal, dan literasi tanpa semangat dakwah akan kehilangan arah. Namun, Kang Hamzah mencatat bahwa banyak pesan dakwah yang tidak sampai karena bahasa yang digunakan terlalu eksklusif. Banyak penulis buku keislaman, terutama dari kalangan pesantren, yang mengira semua orang paham istilah-istilah internal mereka, padahal, kenyataannya tidak.

“Bahasa seringkali jadi penghalang dalam dakwah,” ungkapnya. Oleh karena itu, pendekatan literasi menjadi penting untuk menjembatani nilai dengan masyarakat. Termasuk dalam konteks produksi konten digital.

Kang Hamzah menyoroti minimnya dokumentasi visual dunia pesantren. Banyak film atau liputan hanya menampilkan santri yang sedang mengaji, makan, atau tidur. Sangat jarang yang menyoroti kehidupan pribadi kiai, struktur sosial santri, atau nilai-nilai budaya yang hidup di dalamnya.

“Dunia keislaman kita ini miskin audiovisual,” kritiknya.

Di tengah arus digitalisasi dan dominasi media populer, dakwah dan literasi perlu disampaikan dengan pendekatan baru. Ia menekankan pentingnya membuka akses kepada jurnalis, pembuat film, dan penulis untuk mengenal dunia pesantren dari dekat.

“Kalau komunikasinya bagus, pesantren akan terbuka. Tapi seringkali yang datang tidak siap. Tidak tahu apa yang ingin dibidik,” katanya.

Menurutnya, ada banyak ruang kosong dalam dokumentasi sejarah, budaya, dan pengetahuan pesantren yang belum tergarap. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan kurator-kurator yang bisa menyusun narasi dan menyampaikannya dengan bahasa yang dapat dimengerti masyarakat luas.

Di sinilah posisi strategis media seperti NU Online dan alif.id. Dua platform ini, menurutnya, bukan hanya media informasi, tetapi juga sarana pendidikan dan pewarisan nilai. Meski mengakui tekanan algoritma dan tuntutan tren, ia memilih tetap menjaga kualitas dan konsistensi.

Alif.id itu bertahan karena istikamah,” ujarnya.

Kang Hamzah mengajak semua pihak yang terlibat dalam dunia keislaman untuk menyadari tantangan ini. Dakwah tidak bisa disampaikan dengan cara yang sama terus-menerus. Literasi tidak cukup hanya diajarkan lewat seminar atau slogan. Keduanya harus diperdalam, dikontekstualisasikan, dan dibumikan agar benar-benar hidup dalam masyarakat.

Obrolan selengkapnya, bisa disimak di sini:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.