Ikhbar.com: Penentuan awal Ramadan menjadi bukti nyata bagaimana ilmu pengetahuan, khususnya astronomi, dapat memperkaya pemahaman dan praktik keagamaan. Sayangnya, aspek ilmiah dalam Islam sering terabaikan. Padahal, perpaduan ilmu dan iman membawa manfaat besar bagi umat.
Ilmu pengetahuan justru memperkuat keyakinan dan keakuratan dalam beribadah.
Seorang Profesor Sejarah Sains dan Direktur Institute for the History of Science di Frankfurt University, Jerman, David A. King, dalam “Science in the Service of Religion: The Case of Islam” (2021), menyoroti bagaimana astronomi telah berperan dalam kehidupan Muslim selama lebih dari satu milenium.
Dalam Islam, terdapat dua tradisi utama, yakni folk astronomy (astronomi rakyat) yang berbasis pengamatan langsung dan astronomi matematis yang menggunakan teori serta perhitungan canggih.
“Dalam konteks penentuan awal Ramadan, astronomi rakyat lebih sering diterapkan oleh para ulama fikih karena kemudahan penerapannya bagi masyarakat luas,” tulisnya, sebagaimana dikutip dari Muslim Heritage, Selasa, 18 Februari 2025.
Baca: Dari Al-Farghani hingga Al-Biruni, Para Ilmuwan Muslim Peletak Dasar Astronomi Dunia
Metode rukyatul hilal, yaitu pengamatan bulan sabit pertama setelah matahari terbenam, telah digunakan selama berabad-abad. Saksi dengan penglihatan tajam dikirim ke tempat dengan cakrawala barat yang jelas untuk melihat hilal. Jika terlihat, maka bulan baru dimulai; jika tidak, perhitungan jumlah hari dalam bulan sebelumnya menjadi acuan.
Sementara itu, para astronom Muslim mengembangkan metode matematis yang diklaim lebih akurat untuk menentukan kemungkinan visibilitas hilal berdasarkan posisi matahari dan bulan.
Baca: Bingung dengan Perbedaan Awal Ramadan? Ini Solusinya menurut Fikih
Menyatukan tradisi dan pengetahuan
Di Indonesia, perbedaan dalam penentuan awal Ramadan merupakan hal yang lazim dan seharusnya tidak dipandang sebagai pertentangan yang negatif. Justru, hal ini mencerminkan kekayaan metode dan pendekatan yang ada dalam tradisi Islam.
Baik metode hisab (perhitungan astronomi) maupun rukyatul hilal memiliki dasar yang kuat dan setiap dari keduanya memberikan kontribusi berharga dalam memastikan keakuratan penanggalan Hijriah. Perjalanan panjang ini menunjukkan bagaimana keilmuan dan keyakinan dapat berjalan beriringan secara harmonis.
Di era modern, teknologi dan komunikasi semakin memudahkan proses ini. Dulu, perbedaan dalam pengumuman awal Ramadan karena variasi metode dan kondisi geografis terasa begitu runcing. Kini, dengan hadirnya sejumlah organisasi atau lembaga internasional di bidang tersebut, upaya harmonisasi penentuan awal Ramadan semakin baik. Kolaborasi antara ilmuwan dan ulama menjadi contoh bagaimana kemajuan ilmu dapat memperkuat praktik keagamaan.
Meski perhitungan astronomi semakin canggih, rukyatul hilal tetap diperlukan sebagai bentuk implementasi ajaran Islam yang telah dipraktikkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw.
Pengamatan langsung bulan sabit bukan sekadar tradisi, tetapi juga bagian dari upaya menjaga keterhubungan manusia dengan fenomena alam sebagai tanda kebesaran Tuhan.
Rukyatul hilal mengajarkan pentingnya ketelitian, kebersamaan, dan penghormatan terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang seiring waktu. Dengan demikian, sains dan agama dapat saling melengkapi dalam mencapai tujuan yang sama, yaitu menjaga ketepatan ibadah sekaligus memperkuat spiritualitas umat.

Baca: Para Ulama dalam Sejarah Angka dan Matematika
Keselarasan sains dan iman
Seperti halnya dalam penentuan awal Ramadan, sains juga memainkan peran penting dalam regulasi waktu salat. Lima waktu salat dalam Islam ditentukan berdasarkan posisi matahari, yang di masa awal diatur dengan pengamatan panjang bayangan atau fenomena senja dan fajar. Namun, seiring perkembangan ilmu, para astronom Muslim mengembangkan tabel perhitungan waktu salat yang lebih akurat menggunakan trigonometri bola.
Kemunculan institusi muwaqqit di abad ke-13 memperkuat akurasi waktu salat, dengan kota-kota besar seperti Kairo, Damaskus, dan Istanbul menjadi pusat inovasi astronomi. Instrumen seperti astrolabe dan kuadran diciptakan untuk memastikan ketepatan waktu ibadah. Bahkan, banyak masjid dilengkapi dengan jam matahari sebagai alat bantu yang mempermudah penentuan waktu salat.

Baca: Kiblat Umat Islam pernah tidak Seragam
Perjalanan panjang ini membuktikan bahwa ilmu dan agama bukanlah dua entitas yang bertentangan, melainkan dua aspek yang saling melengkapi. Dari penentuan hilal Ramadan hingga pengaturan waktu salat, sinergi antara keyakinan dan ilmu pengetahuan telah memberikan manfaat luar biasa bagi umat Islam.
Ketika ilmu pengetahuan digunakan untuk memperkuat ibadah, keindahan Islam semakin terang benderang. Ini memberikan inspirasi bagi generasi mendatang untuk terus menggali dan mengembangkan pengetahuan demi kemaslahatan umat, sekaligus menjaga keseimbangan antara tradisi dan kemajuan zaman.