Ikhbar.com: Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengambil langkah berbeda dalam menetapkan awal Ramadan. Muhammadiyah menggunakan metode hisab wujudul hilal, sementara NU memilih metode rukyatul hilal.
Metode berbeda yang digunakan dua organisasi Islam itu pun pada akhirnya kerap melahirkan keputusan yang berbeda, yang kadang dianggap membingungkan masyarakat. Pada tahun ini, misalnya, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah telah mengumumkan awal Ramadan jatuh pada 11 Maret 2024. Sementara NU dan Kementerian Agama (Kemenag) baru akan menggelar sidang isbat awal Ramadan 1445 H pada 10 Maret 2024, yang diprediksi akan menghasilkan putusan berbeda, yakni awal puasa jatuh pada 12 Maret 2024.
Meskipun demikian, para ulama dari kedua rumah besar Muslim Indonesia itu telah memberikan argumentasi yang kuat dan valid yang mendasari pendekatan yang mereka pilih.
Baca: Pergulatan Muhammadiyah dan NU dalam Sebuah Lagu
Furu’iyah syariat
Menurut Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Barat, Kiai Ghufroni Masyhuda, perbedaan itu termasuk dalam kategori furu’iyah (cabang) syariat yang memang rentan mengandung khilafiyah (perbedaan).
“Persoalan penetapan awal Ramadan itu di dalam fikih masuk pada kategori furu’iyah syariat yang rentan mengandung khilafiyah,” ungkap Kiai Ghufron, dikutip dari artikel yang pernah diunggah Ikhbar.com dengan judul “Cara Bijak Menyikapi Perbedaan Hasil Penetapan Awal Ramadan versi NU dan Muhammadiyah,” Jumat, 8 Maret 2024.
Saat berada dalam konteks ini, lanjut Kiai Ghufron, para ulama biasanya lebih bersikap moderat. Apalagi fikih memang cenderung menghadirkan pilihan-pilihan yang beragam.
“Hal ini yang mengajarkan kita agar bisa menghormati dan menghargai pendapat orang lain,” katanya.
Baca: Alasan Awal Ramadan dan Lebaran Ditentukan lewat Sidang Isbat
Mengacu kaidah fikih
Sebagai solusi praktis, Kiai Ghufron menyarankan agar masyarakat mengikuti keputusan pemerintah berdasarkan hasil sidang isbat yang dilaksanakan oleh Kemenag sebagai bagian dari pemerintahan yang sah.
“Karena dalam literatur fikih disebutkan bahwa awal Ramadan bisa ditetapkan oleh qadi atau pemerintah, dalam hal ini Kemenag,” katanya.
Menurutnya, ketetapan pemerintah dihukumi dapat menghilangkan atau menghaluskan perbedaan tersebut sebagaimana kaidah fikih yang menyatakan bahwa keputusan hakim (pemerintah) sebagai jalan untuk menyelesaikan perdebatan.
Kaidah fikih yang dimaksud adalah:
حكم الحاكم يرفع الخلاف
“Ketetapan hakim berfungsi untuk menghilangkan atau menghaluskan perbedaan.”
Baca: Mengapa Muslim Harus Gembira saat Ramadan Tiba? Ini Alasannya
Dengan demikian, bagi masyarakat awam yang merasa bingung, Kiai Ghufron menyarankan untuk menyerahkan sepenuhnya pada keputusan pemerintah, tanpa perlu terbebani oleh perbedaan pendekatan antara PP Muhammadiyah dan PBNU.
“Bagi masyarakat awam yang bingung, boleh lepas dulu ke-NU-an atau ke-Muhammadiyah-annya, lalu menyerahkan sepenuhnya pada keputusan pemerintah,” pungkasnya.