Ikhbar.com: Lembaga Falakiyah (LF) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mengumumkan awal Rabiul Awal 1446 H jatuh pada Kamis, 5 September 2024 M. Keputusan itu didasari hilal yang tidak dapat terlihat di seluruh Indonesia pada Selasa, 29 Shafar 1446 H atau bertepatan dengan 3 September 2024 M.
“Telah dilaporkan penyelenggaraan rukyatul hilal pada Selasa Pon 29 Shafar 1446 H / 3 September 2024 M. Laporan lokasi yang menyelenggarakan rukyatul hilal terlampir. Semua lokasi tidak melihat hilal,” tulis siaran pers tersebut, dikutip pada Rabu, 4 September 2024.
“Oleh karena itu, Maulid Nabi, 12 Rabiul Awal 1446 H, akan jatuh bertepatan dengan hari Senin, 16 September 2024 M,” lanjut edaran tersebut.
Di sisi lain, Rabiul Awal tidak hanya diyakini umat Muslim sebagai bulan kemuliaan seiring peristiwa kelahiran Nabi Muhammad Saw. Dalam sejarahnya, bulan ketiga penanggalan Hijriah ini juga memiliki peran penting dalam aspek agrikultur masyarakat Islam di masa lampau.
Pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Rabiul Awal dipandang sebagai bulan yang ideal untuk perencanaan pertanian. Hal ini berkat integrasi ilmu falak (astronomi) dengan sistem agrikultur, yang memungkinkan para petani mengoptimalkan hasil panen mereka dan meminimalkan risiko gagal panen. Pengetahuan ini kemudian menjadi warisan berharga yang menunjukkan betapa maju dan terintegrasinya ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam pada masa itu.
Baca: Gelap-Terang Sejarah Abbasiyah
Berpusat di Baghdad
Pada abad ke-9 Masehi, Baghdad berdiri sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban dunia. Di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Baghdad menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk astronomi.
Perpustakaan Baitul Hikmah, yang didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid dan kemudian diperluas oleh putranya, Khalifah Al-Ma’mun, menjadi pusat penerjemahan dan penelitian ilmiah. Di sana, tak terhitung jumlah karya warisan Yunani kuno yang diterjemahkan untuk pengembangan keilmuan secara lebih lanjut.
Salah satu tokoh penting dalam pengembangan ilmu falak adalah Abu Rayhan Al-Biruni (973-1048 M). Lewat salah satu karyanya Al-Tafhim li Awa’il Sina’at al-Tanjim (1029 M), Al-Biruni menjelaskan bagaimana fase-fase bulan, termasuk Rabiul Awal, digunakan sebagai panduan utama dalam kalender pertanian.
Al-Biruni mencatat bahwa penanaman yang dilakukan pada waktu yang tepat, berdasarkan pengamatan bulan, dapat membantu petani menghindari kerugian yang disebabkan oleh perubahan cuaca. Al-Biruni, yang dikenal sebagai salah satu ilmuwan terbesar dalam sejarah Islam itu menegaskan pentingnya integrasi antara ilmu pengetahuan alam dan praktik pertanian untuk menciptakan sistem agrikultur yang lebih efisien dan efektif.
Salah satu fenomena astronomi penting yang diamati oleh para ilmuwan Baghdad adalah ekuinoks musim gugur, yang sering kali bertepatan dengan bulan Rabiul Awal.
Menurut catatan Abu Al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Kathir Al-Farghani (805-880 M) dalam Al-Majisti (861 M), ekuinoks ini menandai transisi dari musim panas ke musim dingin, di mana durasi siang dan malam menjadi hampir sama. Al-Farghani, yang dikenal di Barat sebagai Alfraganus, adalah seorang astronom dan matematikawan terkemuka pada masanya. Karya-karyanya memiliki pengaruh besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam dan Eropa.
Di Baghdad, fenomena tersebut dianggap sebagai penanda waktu yang ideal untuk memulai penanaman tanaman musim dingin seperti gandum dan barley. Curah hujan yang meningkat pada bulan Rabiul Awal, dengan rata-rata sekitar 30-40 mm, dibandingkan dengan hanya 5-10 mm pada bulan sebelumnya, menciptakan kondisi yang sangat baik untuk bercocok tanam.
Al-Farghani menyebutkan bahwa perubahan musim ini adalah waktu yang sangat strategis dalam kalender agrikultur.
Baca: Dari Al-Farghani hingga Al-Biruni, Para Ilmuwan Muslim Peletak Dasar Astronomi Dunia
Peran falak dalam pertanian
Ilmu falak yang diterapkan dalam kalender agrikultur tidak hanya berhenti pada pengamatan bintang dan bulan, tetapi juga diterapkan dalam teknologi pertanian yang lebih canggih. Salah satu sistem yang dikembangkan adalah irigasi yang memanfaatkan air dari Sungai Tigris dan Eufrat. Sistem ini memungkinkan para petani mengatasi kekeringan selama musim panas yang panjang dan mempersiapkan lahan mereka untuk penanaman selama musim dingin.
Menurut sejarawan ilmu pengetahuan Donald R. Hill dalam Islamic Science and Engineering (1993) dan History of Science (1967), teknologi irigasi ini merupakan salah satu inovasi terbesar yang mendukung keberhasilan agrikultur di Baghdad.
Hill mencatat bahwa para petani di Baghdad kala itu dapat meningkatkan hasil panen mereka sebesar 15-20% dengan menggunakan sistem irigasi yang didukung oleh perhitungan waktu tanam berdasarkan ilmu falak.
Dia juga menekankan bahwa keberhasilan ini bukan hanya hasil dari teknologi irigasi, tetapi juga dari pemahaman mendalam tentang siklus musim dan fase-fase bulan.
Sinkronisasi antara perubahan musim dan kalender lunar yang dimulai pada bulan Rabiul Awal tidak hanya berdampak pada agrikultur, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lainnya. Pada saat itu, ilmu falak digunakan untuk mengatur berbagai aktivitas masyarakat, termasuk perjalanan, perdagangan, dan kegiatan keagamaan.
Dalam The Contribution of Islamic Astronomy to Modern Science (1994), UNESCO mencatat bahwa astronomi Islam memiliki kontribusi besar dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu, termasuk pertanian. Pengetahuan tentang pergerakan bintang dan bulan yang dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim menjadi dasar bagi berbagai inovasi yang mendukung kehidupan sehari-hari.
Baca: Khianat Barat terhadap Peradaban Islam
Warisan peradaban Islam
Penggunaan Rabiul Awal sebagai acuan dalam perencanaan agrikultur pada akhirnya menjadi sebuah warisan ilmu pengetahuan yang memiliki dasar ilmiah kuat.
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan Food and Agriculture Organization (FAO) dengan judul Climate and Agriculture: A Complex Relationship (2001), disebutkan bahwa praktik agrikultur yang didasarkan pada siklus lunar terbukti efektif dalam meningkatkan hasil pertanian di berbagai wilayah yang memiliki iklim ekstrem.
Badan Pangan PBB itu mencatat bahwa kalender lunar yang digunakan oleh para petani di Timur Tengah, yang diwariskan dari peradaban Islam, membantu mereka menyesuaikan waktu tanam dan panen dengan kondisi cuaca yang berubah-ubah.
Selain itu, kajian modern menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak hanya efektif di masa lalu, tetapi juga relevan dalam konteks pertanian modern. Dalam konteks perubahan iklim global, pengetahuan tentang sinkronisasi antara musim dan fase-fase bulan dapat membantu para petani modern mengatasi tantangan yang dihadapi, seperti perubahan pola curah hujan dan peningkatan suhu global.
Kebijaksanaan yang terkandung dalam penggunaan Rabiul Awal sebagai bulan perencanaan pertanian di Baghdad menunjukkan betapa integratifnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari pada masa itu. Para ilmuwan Muslim tidak hanya fokus pada pengembangan teori ilmiah, tetapi juga pada penerapan praktis dari pengetahuan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan menggabungkan ilmu falak dan agrikultur, para ilmuwan dan petani pada masa itu mampu menciptakan sistem yang harmonis antara alam dan manusia. Pelajaran berharga ini dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat modern untuk kembali mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan kehidupan praktis, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan ketahanan pangan.
Rabiul Awal, dengan segala keunikan dan nilai historisnya, mengajarkan setiap Muslim bahwa perencanaan yang baik, didasarkan pada pengetahuan yang mendalam adalah kunci untuk mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang.