Ikhbar.com: Sebagian besar pondok pesantren di Indonesia menempatkan ilmu gramatika Arab sebagai kurikulum dasar yang wajib dipelajari para santri. Serangkaian materi yang lazim disebut ilmu alat ini di antaranya terdiri dari nahu (tata bahasa), saraf (morfologi), balaghah (retorika), mantik (logika), arudh (metrik atau prosodi), serta mata pelajaran serumpun lainnya.
Ulama muda, KH Muhammad Abdurrahman Al-Kautsar atau yang karib disapa Gus Kautsar, metodologi itu sudah diterapkan sejak masa lampau. Menurut salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Modjo, Kediri, Jawa Timur tersebut, pembelajaran serangkaian ilmu pengetahuan bahasa itu bukanlah sesuatu yang tanpa misi.
“Metodologi yang telah dibangun kiai Nusantara itu sudah menarik dan harus dipertahankan. Meskipun sekarang ini banyak orang yang tidak tahu seluk-beluknya mengatakan bahwa belajar ilmu alat itu bid’ah. Mereka menganggap bahwa Rasulullah Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan umat Islam belajar seperti itu,” katanya, saat mengisi mauizah hasanah di Puncak Peringatan Haul Ke-35 KH Aqiel Siroj, di Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat, Sabtu, 27 Juli 2024 lalu.
Baca: Definisi Kalam dari Berbagai Aspek, Lengkapnya Keterangan Kitab Nahu Kiai Aqiel Kempek
Pintu gerbang pengetahuan
Padahal, lanjut Gus Kaustsar, ilmu alat adalah pintu gerbang untuk memahami Al-Qur’an dan hadis. Bahkan, keilmuan tersebut mempunyai keunggulan dalam melatih nalar santri agar lebih mudah memahami aneka ragam pengetahuan lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, Gus Kautsar mengutip syair yang terdapat dalam Syarah Ad-Durrah al-Bahiyyah Nadhm al-Ajurumiyyah (Nazam Imrithi):
مَنْ فَاتَهُ النَّحْوُ فَذَاكَ الْأَخْرَسُ # وَفَهْمُهُ فِيْ كُلِّ عِلْمٍ مُفْلِسُ
“Barang siapa yang terlepas dari ilmu nahwu maka dialah orang yang bisu. Pemahamannya terhadap setiap ilmu adalah merugi.”
وَقَدْرُهُ بَيْنَ الْوَرٰى مَوْضُوْعُ # وَإِنْ يُنَاظِرْ فَهُوَ الْمَقْطُوْعُ
“Kedudukannya di antara manusia menjadi rendah. Dan bila bertukar pikiran, maka ia menjadi orang yang terputus (tak dapat mengikuti yang lain).”
لَا يَهْتَدِيْ لِحِكْمَةٍ فِى الذِّكْرِ # وَمَا لَهُ فِيْ غَامِضٍ مِنْ فِكْرٍ
“Tidaklah mendapatkan hikmah dalam zikirnya. Dan ia tidak dapat menjelaskan pemikirannya.”
“Maka, di kitab Imrithi pun kita sudah mendapatkan pesan bahwa kalau tidak mengerti ilmu nahu, lebih baik diam,” kata Gus Kautsar.
Menurut Gus Kautsar, tujuan dari mempelajari ilmu alat adalah agar setiap Muslim mampu memahami kandungan Al-Qur’an dan hadis dengan baik dan benar. Hal itu sebagaimana dijabarkan dalam salah satu Nazam Imrithi, tentang tujuan mempelajari ilmu nahu:
كَيْ يَفْهَمُوْا مَعَانِيَ الْقُرْأَنِ # وَالسُّنَّةِ الدَّقِيْقَةِ الْمَعَانِي
“Agar mereka bisa memahami makna-makna Al-Qur’an dan hadis yang sulit maknanya.”
Baca: Rekam Jejak Penulisan dan Cara Baca Al-Qur’an, Penjelasan Kiai Ahmad Zaini Dahlan
Pesan ulama terdahulu
Putra dari ulama karismatik, KH Nurul Huda Djazuli itu menegaskan, urgensi mempelajari tata Bahasa Arab sudah ditekankan sejak masa awal perkembangan Islam.
“Misalnya, di saat Khalifah Umar bin Khattab mengutus Abu Musa Al-Asy’ari ke Basrah, beliau meminta agar Abu Musa mempelajari sunah Nabi dan gramatika Arab,” katanya.
Khalifah Umar berpesan:
تعلَّموا العربيةَ؛ فَإنَّها مِنْ دِينِكُم
“Pelajarilah bahasa Arab, karena ia merupakan bagian dari agamamu.”
Gus Kautsar juga menceritakan, seorang ulama yang kemudian sangat dikenal sebagai ahli hadis, yakni Imam Waqi’ bin Al-Jarrah, pernah ditegur gurunya, Sulaiman bin Mihran Al-Asadi Al-Kahali Abu Muhammad Al-Kufi Al-A’masy, di saat keliru harakat saat membacakan sebuah hadis.
“Kata Imam Al-A’masy, ‘Kamu telah meninggalkan sesuatu yang jauh lebih penting dan jauh lebih istimewa jauh lebih harus kamu perhitungkan sebelum mempelajari hadis.’ Kemudian Imam Waqi bertanya, ‘Apakah ada yang jauh lebih istimewa dari ilmu hadis?’Dan Imam Al-A’masy menjawab, ‘Pelajarilah ilmu gramatika Arab, baru kemudian ilmu hadis,” katanya.
“Jadi, kiai-kiai kita itu sudah sangat tepat dalam menempatkan ilmu granmatika Arab sebagai pengetahuan yang harus dipelajari oleh para santri,” tambah Gus Kautsar.
Keyakinan ini, lanjut Gus Kautsar, sangat penting untuk dijadikan pegangan di tengah maraknya kampanye kembali kepada Al-Qur’an dan sunah tanpa memahami secara lebih mendalam dan berhati-hati.
“Jangan sok-sokan kembali ke Al-Quran dan Al-Hadis kalau tidak mengerti perangkatnya Selain itu, memilih guru yang tepat untuk mempelajari semua itu juga merupakan kewajiban,” kata Gus Kautsar.
“Imam Syafi’i juga berpesan, orang yang belajar hadis tanpa guru atau tanpa sanad itu seperti pencari kayu bakar di hutan saar tengah malam. Dia akan merasa berhasil mendapatkan sesuatu yang ia cari, tetapi sesampainya di rumah, ia baru sadar bahwa yang dibawa dari hutan itu bukan cuma kayu, tetapi ular yang besar dan berbisa yang mengancam nyawanya. Begitulah bahayanya mempelajari hadis tidak pada guru yang tepat,” sambungnya.