Ikhbar.com: Jauh sebelum dilumat Mongol, kisah Kekhalifahan Abbasiyah dimulai dari seorang tokoh revolusioner di era Kekhalifahan Umayyah, Abdullah Abul Abbas bin Muhammad. Ia meneruskan tekad saudaranya, Ibrahim Al-Imam, untuk meruntuhkan kekuasaan Damaskus. Secara nasab, dirinya adalah generasi keempat dari paman Nabi Muhammad Saw, Abbas bin Abdul Muthalib.
Keberhasilan kawan seperjuangannya, yaitu Abu Muslim Al-Khurasani dalam merebut Kufah pada tahun 742 membuka jalan semakin lapang. Al-Khurasani berasal dari golongan mawali Persia dan sama-sama membenci Umayyah. Di kota tersebut, Abdullah Abul Abbas juga disambut hangat Abu Salamah, sosok yang disebut-sebut sebagai wazir Ahlul Bait Rasulullah Saw.
Di luar dugaan, Abu Salamah justru menunjuk dirinya, yang notabene bukan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, sebagai calon khalifah baru. Lebih mengejutkan lagi, penduduk Kufah menyambut gembira penobatan tersebut. Padahal, selama ini mereka memberi kesan untuk terus mendukung keturunan Ali di hadapan rezim Umayyah.
Setelah Abu Salamah dan seluruh masyarakat Kufah berbaiat kepadanya, Abul Abbas langsung menunjuk anggota keluarganya sendiri untuk menduduki berbagai posisi penting dalam pemerintahan.
Sementara Abu Muslim diberinya jabatan sebagai gubernur Khurasan dan Abu Salamah pun mulai kehilangan wibawanya. Sang “representasi” pembela Ahlul Bait itu tampaknya menyesal telah mendukung Abul Abbas.
Berita yang menggemparkan dari Kufah itu akhirnya tiba di telinga Marwan bin Muhammad (Marwan II). Raja Umayyah itu segera menyiapkan bala tentara untuk menggempur kota di kawasan Irak tersebut.
Reaksi demikian sudah diprediksi sebelumnya oleh Abul Abbas. Pemimpin revolusi anti-Umayyah ini langsung menyusun kekuatan tempur. Abdullah bin Ali Said ditunjuknya sebagai komandan pasukan.
Kubu Marwan II dan Abdullah saling berhadapan di lembah Sungai Zab pada Januari 750. Dalam perang ini, raja Umayyah itu rupanya terlalu percaya diri. Padahal, medan pertempuran tidak begitu dikenalnya. Akhirnya, balatentaranya hilang arah dan kocar-kacir karena dipukul mundur pasukan Abdullah. Bahkan, lebih dari 300 anggota keluarganya terbantai.
Marwan II berupaya kabur ke Damaskus. Namun, Abul Abbas memerintahkan para jajaran untuk mengejarnya. Sempat bersembunyi di Yordania, ia akhirnya tertangkap di Mesir saat hendak menyeberangi Sungai Nil. Pada 6 Agustus 750, raja terakhir Daulah Umayyah itu dieksekusi mati.
Dengan meninggalnya Marwan II, Abdullah Abul Abbas merasa di atas angin. Ia seketika memerintahkan pasukannya untuk memburu semua anggota keluarga Umayyah. Di Damaskus, seluruh sanak famili dinasti tersebut dihabisi, bersama dengan 50 ribu penduduk setempat. Pembunuhan terhadap orang-orang Umayyah juga dilakukan di Mekkah dan Madinah.
Kekejian Abbasiyah pada masa yang kelam ini turut menyasar masyarakat umum. Di Mosul, misalnya, belasan ribu orang dibantai secara sadis. Bahkan, banyak korban dibunuh pada saat bertahan di dalam masjid. Anak-anak dan perempuan turut menjadi sasaran.
Revolusi yang dikibarkan Abul Abbas membuat kaum Muslimin terpecah-belah. Sejumlah kabilah, terutama yang berada di Afrika Utara dan Andalusia (Spanyol), bangkit memberontak. Beberapa bahkan mengeklaim berdaulat dengan membentuk kekhalifahan tandingan.
Abul Abbas berkuasa selama empat tahun hingga kematiannya pada 754 akibat sakit cacar. Posisinya digantikan oleh saudaranya, Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad. Saat menjabat, gelarnya ialah Khalifah Al-Manshur.
Meski awalnya berlangsung mengerikan, kekuasaan Daulah Abbasiyah terus bertahan selama 500 tahun. Dalam masa lima abad itu, dari periode ke periode, kekhalifahan ini dipimpin 37 penguasa. Era Abu Ja’far hingga tiga atau empat raja berikutnya merupakan zaman keemasan negeri ini.
Ia dikenal sebagai Khalifah Al-Manshur. Berbeda dengan pendahulunya, watak kepemimpinannya cenderung bijaksana meskipun masih flamboyan. Dalam sejarah, namanya tidak hanya dikenang sebagai pemimpin kedua Dinasti Abbasiyah, tetapi juga pendiri Baghdad. Di kota itulah, fondasi kegemilangan kekhalifahan itu berada.
Agenda utama Al-Manshur sebagai khalifah bukanlah membangun ibu kota baru, melainkan konsolidasi imperium. Dirinya mengatur siasat politik dan pemerintahan Abbasiyah agar tidak goyah menghadapi kemungkinan pemberontakan.
Salah satu caranya ialah menata birokrasi mulai dari level pusat hingga daerah-daerah. Ia mengangkat para hakim, kepala polisi rahasia, jawatan pajak, dan lain-lain dari kalangan yang benar-benar terbukti setia terhadap Abbasiyah.
Dia ingin membangun sebuah pusat peradaban di Irak. Untuk itu, raja kedua Dinasti Abbasiyah tersebut harus memilih lokasi yang tepat. Pilihannya jatuh pada sebuah area luas di sebelah selatan Lembah Zab, bersisian dengan Sungai Eufrat dan Tigris.
Kawasan ini bukan hanya strategis, tetapi juga beriklim sejuk dan subur tanahnya. Pada musim dingin, hawanya sedang. Ketika musim panas menerjang, suhu udara cenderung sejuk. Adapun kesuburannya ditunjang oleh aliran sungai-sungai di dekatnya.
Khalifah Al-Manshur pun membangun kota impiannya dengan dana yang diperoleh sejak berhasil menggulingkan Dinasti Umayyah. Ia juga mendatangkan 100 ribu orang tukang untuk menuntaskan pekerjaan ini.
Perlahan namun pasti, berdirilah banyak fasilitas umum di atas lahan tersebut. Ada masjid raya, kantor-kantor pemerintahan, rumah-rumah penduduk, barak tentara, jembatan, saluran air, serta jalan-jalan raya.
Pada 767 l, proyek besar ini pun tuntas dikerjakan. Al-Manshur menamakannya sebagai Baghdad atau Madinat as-Salam (Kota Perdamaian). Berdiameter dua mil, kota itu tampak seperti kawasan benteng yang luas dan kokoh.