Ikhbar.com: Organisasi kemahasiswaan menjadi satu dari sekian banyak jalan menuju kebaikan, terutama dalam mendorong terwujudnya perubahan demi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Namun, bagi mahasiswa yang berstatus sebagai santri atau kerap disebut mahasantri, semangat advokasi itu harus lebih difokuskan sebagai penanda dan bentuk pengabdian kepada pesantren.
Demikian disampaikan Mudir ‘Aam Ikhbar Foundation, KH Sobih Adnan, saat menjadi pemateri dalam “Upgrading Jurnalistik Pengurus Komisariat (PK) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syariah (STIES) KHAS Al-Jaelani” di Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jumat, 30 Agustus 2024.
Menurutnya, ada tiga pekerjaan rumah (PR) yang diemban para santri aktivis PMII guna menunjukkan semangat pengabdiannya kepada pesantren.
“Pertama, menjaga muruah pesantren. Kedua, kontekstualisasi ajaran pesantren. Ketiga, membumikan peran pesantren di ranah publik,” katanya.
Sosok yang juga berkiprah sebagai jurnalis dan penulis dalam 10 tahun terakhir itu mengatakan, salah satu jalan yang paling strategis dalam melakukan semua tugas-tugas tersebut adalah melalui pemanfaatan media publikasi dengan baik.
“Menulislah. Karena dengan menulis, kita bisa lebih leluasa untuk menceritakan kepada khalayak luas tentang keluhuran pesantren secara faktual,” katanya.
Baca: Nyai Rihab Said Aqil: Sejarah dan Teknik Konseling Penting Dipahami Pesantren
Merebut pasar
Ang Sobih, sapaan akrabnya, menilai, pesantren perlu memperkuat daya syiarnya terutama di media sosial (medsos). Pasalnya, selama ini platform tersebut dijadikan oleh banyak orang sebagai sumber sekaligus pencarian informasi.
Pesantren, terutama yang tradisional, perlu ambil bagian dalam jejaring informasi tersebut untuk meluruskan anggapan-anggapan yang selama ini cenderung keliru.
“Baru beberapa hari lalu, misalnya, saya melihat ada satu video singkat di TikTok yang membandingkan suasana di pesantren tradisional dan modern. Si pemilik akun menulis, ‘Ini beda hafalan di pesantren salaf dan khalaf,” kisahnya.
Menurut Ang Sobih, video itu disajikan dengan sangat tendensius. Sebab, tayangan tersebut menampilkan kegiatan serombongan santri salaf yang sedang menghafalkan Alfiyah Ibnu Malik, sedangkan yang mengaku modern tampak dengan lancar melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
“Sekilas, ini seakan-akan memberikan pengertian bahwa pesantren yang mereka klaim modern itu lebih benar, lebih islami, dan lebih sesuai syariat karena menghafalkan Al-Qur’an, bukan syair-syair karangan ulama,” tegas dia.
Menurutnya, video yang cukup viral itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perlu adanya kreasi pembanding berupa keterangan mengapa seorang Muslim terlebih dahulu dianjurkan mempelajari keilmuan nahu dan sharaf, bahkan harus menghafalkan teori-teori yang keumumannya berbentuk syair.
Dalam kesempatan itu, dia mengutip keterangan sebagaimana dijabarkan dalam salah satu Nazam Imrithi, bahwa tujuan mempelajari ilmu gramatika Arab adalah:
كَيْ يَفْهَمُوْا مَعَانِيَ الْقُرْأَنِ # وَالسُّنَّةِ الدَّقِيْقَةِ الْمَعَانِي
“Agar mereka bisa memahami makna-makna Al-Qur’an dan hadis yang sulit cenderung sulit jika dipahami secara serampangan.”
“Jadi, kita harus bisa merebut pasar. Cuma tetap bijak, video dibalas video, tulisan dibalas tulisan, karya dibayar karya. Karena di dalam proses dialektika seperti itu juga nantinya akan menghadirkan hikmah yang lebih kaya dan luas,” kata dia.
Baca: Ini Pentingnya Belajar Nahu dan Sharaf menurut Gus Kautsar
Etalase keluhuran pesantren
Di sisi lain, mahasantri pergerakan semestinya mampu membangun etalase keluhuran pesantren. Menurut Ang Sobih, salah satunya dengan getol mengampanyekan betapa kontekstualnya segala pengajaran yang diberikan kiai selama ini kepada para santri.
“Pesantren punya tradisi bahtsul masail. Nah, bagaimana cara kita mensyiarkan proses kontekstualisasi hukum itu bisa sampai ke masyarakat dengan baik. Ya, salah satu jalan yang paling strategis adalah dengan melakukan kerja-kerja kejurnalistikan, penulisan, dan kreatif konten,” katanya.
Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon itu juga menekankan bahwa mahasantri berkewajiban menanamkan segala aktivitas pesantren menjadi rekam jejak digital yang baik di masa depan. Dengan mencatat, merekam, dan mengolah informasi-informasi tersebut, maka peran pesantren terhadap kemaslahatan publik kian tidak bisa lagi diragukan.
“Jasa pesantren bagi kehidupan bangsa itu tidak melulu pada kisah heroik Resolusi Jihad. Masih banyak lagi peran pesantren yang ditorehkan bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara, baik di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan seterusnya,” kata dia.
“Inilah beda tanggung jawab mahasiswa dengan mahasantri pergerakan. Keduanya sama-sama punya jalan dan PR advokasi, tetapi fokusnya bisa dibuat lebih beragam,” pungkasnya.