Ikhbar.com: Ada pemandangan menarik di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon atau yang biasa disebut Buntet Pesantren pada sepekan setelah Ramadan berakhir. Suasana ramai bak Idulfitri terlihat di asrama dan kediaman kiai. Warga menyebut tradisi ini dengan nama Bada atau Raya Kupat (Hari raya ketupat).
Lazimnya, kupat atau ketupat menjadi sajian khas hari raya Idulfitri pada 1 Syawal. Namun, lain halnya dengan yang terjadi di pesantren tertua di Jawa Barat ini. Makanan serupa lontong yang dikemas anyaman janur itu hanya disajikan pada 8 Syawal.
Kegiatan tradisional tersebut berkaitan dengan anjuran berpuasa Syawal selama enam hari. Hal ini mengacu pada hadis yang diriwayatkan Abu Ayub Al-Anshari, bahwa Rasululllah Muhammad Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa saja yang berpuasa Ramadan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun.”
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Fathi Royyani dan Redaktur NU Online, Muhammad Syakir N.F dalam Buntet Pesantren: 3 Abad Merawat Tradisi (2023) menuliskan, “Kupat merupakan bentuk perayaan bagi orang-orang yang telah menjalankan ibadah puasa enam hari di bulan Syawal.”
Momentum tersebut menjadi ajang open house masyarakat Buntet Pesantren, para kiai dan nyai bagi masyarakat luas. Mereka berdatangan dari berbagai daerah, baik kerabat, alumni, maupun santri.
Keramaian yang terjadi membuka pintu rezeki bagi masyarakat sekitar. Di halaman Masjid Agung Buntet Pesantren dapat terlihat pedagang musiman, mulai dari martabak, tahu petis, hingga mainan anak-anak. “Orang-orang menyebut para pedagang itu Jawagendong,” tulis mereka.
Raya Kupat tak bisa dilepaskan dari kuliner khas yang mendampingi kupat, seperti jangan sabrang, yaitu sayur berkuah kecap penuh cabai hijau dengan isi dage (oncom) atau tempe sambel goreng berisi kentang dan jeroan.
“Ada juga calon, yakni ayam yang dibumbui kuning lengkap dengan parutan kelapa muda. Dan lauk-pauk lainnya,” tulis mereka, masih dalam buku yang sama.
Kang Fathi, sapaan akrab penulis, kepada Ikhbar.com mengungkapkan, tradisi Raya Kupat juga harus diinsafi dari sisi makna filosofisnya.
“Kupat merupakan akronim dari ngaku lepat atau mengaku salah. Momen ini adalah kesempatan untuk melakukan introspeksi diri,” kata dia, Jumat, 28 April 2023.
Tak ada catatan maupun oral history yang menyatakan kapan rutinitas tahunan ini mulai menjadi tradisi di Buntet Pesantren.
“Yang terpenting, tradisi ini harus dilestarikan untuk merekatkan persaudaraan dan menyempurnakan amalan Ramadan dengan puasa sunah Syawal,” pungkas dia.