Ikhbar.com: Pendidikan Islam yang diwariskan Walisongo (Sembilan wali di Tanah Jawa) dapat ditemukan dalam berbagai aspek, seperti budaya, tarekat, hingga masjid.
Masjid peninggalan Walisongo tidak hanya dimaknai secara fisik sebagai sarana ibadah bagi umat, beberapa di antaranya juga mengandung ilmu dan nilai filosofis yang saling bertautan.
Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH M. Jadul Maula mengatakan, tiga masjid yang didirikan Walisongo mengandung nilai filosofis perjalanan spiritual manusia menjadi insan kamil (manusia sempurna).
Tiga masjid yang dimaksud ialah Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, Masjid Agung Demak, dan Masjid Aqsha/Menara Kudus.
“Jika dilihat dari selatan, menghadap ke utara Jawa, tiga masjid itu secara berurutan melambangkan fase atau peta perjalanan spiritual manusia menjadi manusia yang sempurna,” ungkapnya, Kamis, 27 April 2023.
Kiai Jadul, sapaan akrabnya, mengatakan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan fase pertama perjalanan spiritual manusia, usaha untuk mengenali atau memahami dorongan-dorongan rasa yang muncul. Fase alam pikir ini pusatnya ada di otak.
“Otak sebagai ‘tools‘ untuk menghasilkan gagasan atau pemikiran disebut dengan Baitul Makmur,” ungkapnya.
Manusia, menurutnya, memiliki consciousness (kesadaran) berkat fungsi pikir yang distingtif dibandingkan dengan makhluk lain. Sehingga dengannya ia dapat mengenali kehadiran Tuhan dan mewujudkan kehendak-Nya.
“Masjid Demak adalah rute berikutnya dari perjalanan spiritual manusia, melambangkan Masjidil Haram, yaitu maqam hati atau kalbu. Kalbu manusia beriman adalah Baitullah. Dalam istilah tarekat disebut Baitul Haram,” tambahnya.
Rute selanjutnya adalah Masjid/Menara Kudus atau Masjidil Aqsha yang merupakan simbol dari perjalanan terjauh/tertinggi yakni maqam ruh, dan disebut Baitul Muqaddas dalam nomenklatur tarekat.
“Jadi dapat disimpulkan bahwa ketiga masjid tersebut dibangun sebagai pengajaran atau pendidikan perjalanan spiritual manusia menjadi insan kamil. Ketiganya dirancang oleh walisongo sebagai satu kesatuan kerja kebudayaan atau keagamaan,” katanulya.
Oleh karena itu, lanjutnya, tidak tepat rasanya jika ada yang mengatakan, misalnya, pembangunan Masjid/Menara Kudus itu dianggap sebagai suatu bentuk persaingan politik di antara para Wali. “Karena anggapan itu lahir dari ketiadaan paham akan marwah dan hakekat perjuangan Walisongo,” pungkasnya.