Ikhbar.com: Dunia pendidikan perlu memahami sekaligus menerapkan sistem konseling yang baik. Terlebih di dunia pesantren yang memosisikan hubungan guru-murid cukup vital dalam menentukan masa depan anak.
Demikian disampaikan psikolog ahli, Dr. Ny. Hj. Rihab Said Aqil, dalam Seminar “EduTalk’s Mental Health” di Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat, Sabtu, 20 Juli 2024 lalu.
“Bahkan, dalam sejarahnya, praktik konseling justru pertama kali ditemukan dan diterapkan di dunia pendidikan, baru berlanjut diaplikasikan dalam penanganan mental secara klinis seperti di rumah sakit dan sejenisnya,” kata Nyai Rihab, sapaan karibnya.
Baca: Ayat-ayat Mental Health
Sejarah
Pendiri Griya Jiva Jakarta tersebut menjelaskan, istilah konseling berasal dari bahasa Latin, “consilium,” yang berarti “menyertai” atau “membersamai.”
Menurut Nyai Rihab, meskipun secara teori baru muncul di abad modern, akan tetapi secara praktik konseling telah dilakukan sejak masa lampau. Bahkan oleh para nabi.
“Sejatinya praktik konseling sudah ada, paling tidak, sejak para nabi, para avatar, filsuf, dan orang-orang spiritual telah sejak awal selalu memberikan guidance (bimbingan) kepada kaumnya. Hanya, saat itu belum diformulasikan menjadi satu sistem, teori, atau cabang keilmuan khusus,” katanya.
Istilah konseling, lanjut Nyai Rihab, baru populer setelah dikenalkan pertama kali di Boston, Amerika Serikat (AS), sekitar tahun 1913. Kemudian semakin masyhur setelah peradaban dunia melewati dua peristiwa besar, yakni Perang Dunia I dan II.
“Setelah perang, banyak tentara yang membutuhkan konseling dan terapi. Praktik ini juga dibutuhkan dalam sistem seleksi anggota militer,” katanya.
Sistem konseling dikenal dalam dunia klinis baru ada setelah diadopsi pendiri aliran psikoanalisis dalam ilmu psikologi, yakni Sigmund Freud. Kemudian dilanjutkan dan dilengkapi oleh Carl Rogers, seorang psikolog yang terkenal dengan pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien.
“Sehingga pada pertengahan abad 20, bermunculan asosiasi-asosiasi yang menaungi praktik konseling,” ujarnya.
“Jadi, konseling ini produk modern yang secara praktiknya sudah dilakukan sejak lampau,” sambungnya.
Baca: Kelola Jiwa di Tengah Kepungan Dunia Maya, Tips dari Nyai Rihab Said Aqil
Jenis-jenis
Putri ulama karismatik, Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj itu juga menjelaskan, banyak dari masyarakat awam yang bingung lantaran tidak dapat membedakan antara guidance, counseling, dan psychotherapy.
“Karena pada mulanya dipakai dan diperuntukkan dalam dunia pendidikan, maka seorang guru penting untuk memahami perbedaannya secara detail,” kata Nyai Rihab.
Menurutnya, guidance atau bimbingan berfokus pada moral. Contohnya, seperti yang biasa dilakukan oleh kiai atau ustaz ketika sedang menasihati para santri.
“Secara relationship (hubungannya) ini unequal (tidak sejajar/setara). Pemberi nasihat biasanya cenderung memiliki posisi lebih tinggi dari si penerima, baik secara keilmuan maupun pengetahuan,” jelasnya.
“Ciri khas guidance itu directif (searah) dan hanya bersifat di permukaan. Jadi si penerima nasihat itu biasanya relatif pasif,” tambahnya.
Berbeda dengan konseling, lanjut Nyai Rihab. Metode ini lebih menerapkan sistem yang sejajar. Targetnya adalah membangun keterbukaan dari klien tentang apa yang sedang ia rasakan.
“Sedangkan lingkup masalah yang ditangani masih bersifat standar dan keseharian, misalnya tentang problem hubungan dengan pasangan, pertimbangan dalam pengambilan keputusan, manajemen waktu, stres, hingga kasus bullying (perundungan), dan lainnya,” jelasnya.
“Konseling tidak sama dengan ghibah, tapi ada aturan, teknik komunikasi, setingan, dan tujuan yang mengarah pada perubahan-perubahan baik secara emosi, pikiran, dan perilaku. Tanpa penetepan tujuan dan komitmen dari klien, misalnya santri, maka proses konseling menjadi sia-sia” sambungnya.
Sementara itu, metode psychotherapy diterapkan untuk penanganan masalah emosi yang dianggap lebih berat.
“Tujuan prosesnya adalah recovery (pemulihan). Dan dalam merekonstruksi mental seperti ini harus berorientasi pada masa lalu dan jangka panjang. Dengan tujuan penggalian pengalaman klien yang menjadi penyebab munculnya problem,” jelas Nyai Rihab.
Ketiga proses itu penting untuk diterapkan dengan menimbang kondisi mental dan kebutuhan si klien.
“Jadi, kapan santri membutuhkan guidance, counseling, atau psychotherapy, para ustaz harus paham. Meskipun tidak menyandang status sebagai ahli, tetapi penting untuk mengetahui jenis-jenis metode tersebut,” katanya.
Dengan pemahaman seperti itu, Nyai Rihab percaya bahwa hubungan guru-murid di pesantren akan lebih membawa para santri kepada kesehatan dan kesejahteraan mental.
“Jadi keterampilan konseling ini dibutuhkan bagi para kiai, ustaz, guru, dan individu lainnya untuk mendukung dan menopang tugas mulia mereka,” kata Nyai Rihab.
“Karena sering kali yang kurang disentuh oleh para guru adalah menyentuh emosi para santri dan komunikasi yang efektif,” tambahnya.