Ikhbar.com: Perkembangan pesat teknologi informasi tidak melulu membawa kebaikan, tidak pula selalu mendatangkan dampak keburukan. Semuanya bergantung pada kendali diri para pengguna.
Kemajuan teknologi di zaman yang lazim disebut era 4.0 itu hanyalah seperangkat alat dan sarana, yang dampak positif-negatifnya bergantung pada motif dan tujuan yang diarahkan manusia.
Demikian disampaikan Founder Griya Jiva Pranacitra, Jakarta, Dr. Ny. Hj. Rihab Said Aqil, saat menjadi pembicara dalam “Seminar Nasional: Penguatan Dimensi Spiritual dalam Kegalauan Sosial Global,” yang digelar dalam rangka memperingati Haul Ke-93 KH Muhammad Said, Sesepuh, dan Warga Pondok Pesantren Gedongan, pada Ahad, 14 Januari 2024.
“Meskipun secara umum, media sosial (medsos), misalnya, menjadi distraksi yang paling mengganggu di kehidupan kita hari ini,” kata Nyai Rihab.
Menurut Nyai Rihab, dampak negatif tersebut memang terasa lebih mendominasi akibat aktivitas dan kesadaran manusia yang telah tersandera perangkat teknologi, digitalisasi, jaringan internet, dan semacamnya. Ketika sudah dalam kondisi seperti itu, maka setiap orang bisa semakin kehilangan pemahaman, ruang, dan waktu mereka untuk berkontak secara intim dengan Tuhan, diri sendiri, maupun dengan lingkungan sekitarnya.
“Masyarakat modern semacam telah mengalami obsesif-kompulsif, dengan bukti nyaris setiap orang semakin tidak bisa melepaskan gadget dari genggamannya. Akibatnya, perilaku manusia modern memiliki kecenderungan manja, narsistik, matrialistis, anti-sosial, kesibukan nir-makna, dan overwhelmed atau kewalahan akibat semburat informasi tanpa batas dari media massa maupun media sosial,” jelasnya.

Baca: Nyai Rihab Said Aqil: Jangan Lepas Quote dari Konteksnya
Kontrol ketat dengan ber-i’tidal
Putri ulama karismatik, Prof. Dr. KH Said Aqil tersebut mengungkapkan, pada umumnya banyak yang berpendapat bahwa akal berposisi sebagai penentu perilaku manusia. Sedangkan nafs (jiwa), dipahami sebagai penggeraknya.
“Namun, keduanya itu penting untuk diolah,” katanya.
Menurut Nyai Rihab. Derajat tertinggi akal disebut mustafad (kemampuan menangkap iluminasi ilahi).
“Akal secara keumuman tidak akan bisa menangkap hakikat tanpa ada cahaya, riyadhah (latihan), dan mujahadah (kesungguhan melawan hawa nafsu). Jadi, akal mustafad ini tidak sembarang orang bisa mencapainya,” kata Nyai Rihab.
Lalu, siapakah yang yang bisa memberikan cahaya? Nyai Rihab menjelaskan bahwa ruh dalam diri manusialah yang bisa menyalurkan cahaya penerang tersebut. Ruh diumpamakan Nyai Rihab sebagai matahari.
“Spirit is like sun, moon is like qalb, and earth is like nafs (Ruh itu seperti matahari, bulan seperti qalb/hati, dan bumi seperti nafs). Bumi sebagai perumpamaan jiwa, itu sifatnya gelap. Dia tidak akan memiliki cahaya tanpa bantuan dari matahari. Namun, perlu mediasi untuk mengantarkan cahaya itu, itulah peran qalb,” katanya.
Kecenderungan nafs memiliki orientasi yang mengarah pada hal-hal yang bersifat ego dan duniawi. Oleh karena itu, Nyai Rihab menekankan bahwa tugas manusia adalah memiliki kemampuan untuk mentransformasikan jiwanya dari amarah bisu, menuju mutmainnah, dan trakhir kamilah/zakiyyah
“Sebab, selain nafs harus kita olah, kendalikan, dan arahkan ke hal-hal yang bermanfaat,” katanya.
Tidak cuma akal, Nyai Rihab menyebut nafs juga bertingkat dan berderajat. Ketika baru masuk rahim ibu, status nafs ialah nabatiyah (tetumbuhan). Dia akan menerima asupan murni dari sang ibu. Setelah itu, ia akan berevolusi menjadi nafs hayawaniyah (jiwa binatang), hingga terus tumbuh sempurna menjadi nafs insaniyah (al-aqilah).
“Masalahnya, manusia sering terjebak dalam nafs hayawaniyah. Nafs hayawaniyah memiliki kehendak, motivasi, dan respons yang kuat. Tanpa hayawaniyah, manusia memang tidak bisa hidup. Akan tetapi, manusia juga memiliki tugas untuk menjadikan semuanya harmonis, salah satunya yaitu dengan i’tidal,” katanya.
“I’tidal adalah menempatkan sesuatu sesuai porsi dan kadarnya. Kita butuh makan, tidak boleh berlebihan. Ketika nafs hayawaniyah kita memiliki kehendak dan ambisi yang terlalu kuat, maka yang mengontrol adalah akal agar dia tidak lagi terlalu berambisi, tetapi juga tidak pesimistis atau berubah menjadi penakut,” sambung Nyai Rihab.
Baca: Pentingkah Ilmu Filsafat dan Psikologi bagi Santri? Begini Ulasan Kiai Taufik Gedongan
Urgensi spiritualitas
Menurut Nyai Rihab, semua gejolak yang ada pada tubuh manusia perlu dikontrol dengan prinsip-prinsip yang tertera dalam Al-Quran, hadis-hadis Nabi Muhammad Saw, serta nasihat para ulama.
“Ini penting. Sebab, kondisi zaman makin ke sini kian gelap,” katanya.
Nyai Rihab pun menyitir sebuah ungkapan yang pernah diutarakan sahabat Abdullah bin Mas’ud r.a, sebagaimana dikutip dalam Hilyatul Awliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’:
ذهب صفو الدنيا وبقي كدرها فالموت تحفة لكل مسلم
“Telah hilang jernihnya dunia, kekeruhannya saja lah yang tersisa. (Pada saat ini) betapa kematian merupakan hal yang sangat berharga bagi setiap Muslim.”
“Maka, spiritualitas menjadi penting. Spiritualitas dalam Islam adalah ajaran tasawuf,” katanya.
Dalam mempelajari tasawuf, manusia pun mesti melewati sejumlah tingkatan. Dari mulai sekadar mendengarkan nasihat-nasihat, memperdalam pemahaman hakikat ibadah, hingga pemurnian jiwa.
“Baru kemudian yang trakhir, ilmu rahasia ilahiyah. Ini sudah level para salik (seseorang yang menjalani disiplin spiritual dalam menempuh jalan sufisme),” pungkasnya.