Ikhbar.com: Pesta demokrasi melalui penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) mesti disambut dengan riang gembira. Pasalnya, hajat lima tahunan ini merupakan peluang dan langkah penting bagi rakyat Indonesia dalam mengupayakan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Setiap calon peserta Pemilu 2024 yang turut dalam kontestasi harus memiliki tawaran gagasan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan pemilih. Tidak hanya mengandalkan kekuatan finansial, jaringan, maupun kecerdasan berpolitik, tetapi juga wajib memiliki kesadaran yang tinggi. Termasuk, kesadaran untuk tidak merusak lingkungan yang akan berdampak negatif. Contohnya, memaku baliho kampanye di pepohonan secara sembarangan.
Baca: Nazar Pemilu? Ini Hukum dan Ulasannya menurut Fikih
Kejahatan tree spiking
Memasukkan atau menancapkan benda-benda asing dan tajam ke dalam batang pohon yang masih hidup, seperti dengan paku, sekrup, kawat, dan sejenisnya lazim disebut dengan tree spiking.
Pohon yang menjadi korban tree spiking akan mengalami gangguan proses fisik dan biologis akibat keberadaan benda asing yang telah tertanam di dalamnya. Seperti, mengurangi kekokohan tekstur kayu pada pohon, pohon mudah terinfeksi penyakit, jamur, dan bakteri, mudah terkontaminasi hama pada bagian kulit, hingga berujung kematian secara perlahan.
Mengutip laman AllThingsNature, pada mulanya tree spiking termasuk salah satu jenis ecotage alias tindakan yang diambil atas nama lingkungan demi mencegah penebangan pohon secara masif demi kebutuhan industri.
Aksi tree spiking populer di era 1980-an. Gerakan ini diviralkan salah satu pendiri organisasi Earth First!, Dave Foreman, lewat sebuah buku berjudul “Ecodefense.”
Tujuan awal tree spiking adalah menjadi semacam jebakan bagi para penebang pohon. Benda-benda tajam yang telah tertanam di dalam batang diharapkan akan tersangkut pada mata gergaji hingga patah atau pecah. Bahkan, jika pohon itu tetap berhasil ditebang, maka akan mendatangkan malapetaka di pabrik. Hal ini persis yang terjadi pada 1987, ketika pengolahan pohon korban tree spiking hampir saja membunuh sejumlah pekerja.
Meski berdalih untuk melindungi pepohonan, tindakan tree spiking justru ramai mendapatkan kecaman dari aktivis lingkungan. Bahkan, sejak 1988, Pemerintah Amerika Serikat (AS) memasukkan kegiatan tersebut sebagai kejahatan federal yang dikategorikan sebagai eco-terrorism atau terorisme lingkungan.
Secara tegas, Dosen Hubungan Internasional di Australian National University (ANU), Lorraine Elliott mendefinisikan, eco-terrorism atau bisa juga disebut environmental terrorism adalah ancaman kehancuran lingkungan yang dilakukan oleh negara, kelompok, maupun individu dalam rangka untuk mengintimidasi pihak lain.
Dengan dalih berbalik pada perjuangan kelestarian lingkungan pun, aksi tree spiking sangat dilarang. Apalagi di Indonesia, tindakan memaku pohon dilakukan hanya demi kepentingan yang sama sekali tanpa faedah. Hanya untuk memajang wajah yang belum jelas peran dan jasanya bagi bangsa dan negara.
Baca: 2023 Dinobatkan Jadi Tahun Terpanas dalam 1.000 Abad Terakhir
Pandangan Islam
Dalam masa kampanye, larangan tree spiking telah tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023, Pasal 36 ayat (5). Bunyinya, “Pemasangan alat peraga kampanye pemilu oleh pelaksana kampanye pemilu dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Secara khusus, larangan tersebut dipertegas dalam pasal 70 ayat 1 huruf h yang berbunyi, “Bahan kampanye pemilu dilarang ditempelkan di taman dan pepohonan.”
Sementara itu, larangan merusak lingkungan juga secara tegas diungkapkan dalam Al-Qur’an. Merusak alam merupakan salah satu bentuk kufur nikmat kepada Allah Swt. Dalam QS. Al-A’raf: 56, Allah Swt berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”
Imam Al-Syaukani dalam Fathul Qadir menjelaskan, bumi dan seisinya merupakan bagian dari perwujudan Tuhan. Maka, merusak bumi sama saja mengganggu Tuhan.
Hal senada diungkapkan Syekh Ibnu Athiyyah dalam Al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz. Menurutnya, seseorang yang berbuat kerusakan di muka bumi baik sedikit maupun banyak, disengaja atau tidak, setara dengan merusak kehidupan seluruh umat manusia, bumi, dan alam semesta yang akan mendatangkan kemurkaan Allah Swt.
Sementara itu, ulama kontemporer, Seyyed Hossein Nasr, dalam Islam and the Plight of Modern Man (1975) menjelaskan tentang pentingnya menghargai keberadaan makhluk selain manusia sebagai bentuk ketakwaan terhadap Allah Swt.
Menurut Nasr, hal itu sejalan dengan pesan dalam QS. Al-Hadid: 3. Allah Swt berfirman:
هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Dialah Yang Maha Awal, Maha Akhir, Maha Zahir, dan Maha Batin. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Menurut Hossein Nasr, ayat tersebut sedang menegaskan bahwa Allah Swt adalah Realitas Tertinggi. Allah sekaligus adalah Al-Bathin (yang Batin) dan Azh-Zahir (yang Lahir), pusat dan lingkaran.
“Manusia yang religius memandang Allah sebagai yang Batin. Manusia lainnya yang sama sekali melupakan alam spiritual hanya memandang hal yang lahir. Tetapi tidak mengetahui bahwa yang lahir itu sendiri sebenarnya adalah manifestasi dari pusat atau Allah Swt,” jelas Seyyed Nasr.
Menurutnya, ketidaksadaran itulah yang kemudian menjadikan manusia menganut paham antroposentrisme alias cara pandang yang menganggap bahwa manusia merupakan pusat ekosistem. Bagi penganut pandangan ini, nilai tertinggi dan paling menentukan dalam tatanan ekosistem adalah manusia dan kepentingannya.
“Banyak orang sepakat bahwa nalar antroposentrisme adalah salah satu biang kerok munculnya krisis lingkungan,” tulisnya.
Hal ini, persis seperti tingkah para kontestan pemilu yang meremehkan keberadaan dan keberlanjutan pepohonan dengan tega memakunya secara sembarangan. Tujuannya sangat egois dan sepele, yakni agar mukanya terpampang di jalanan, tanpa peduli dampak negatifnya yang berat dan berkepanjangan.