Pentingkah Ilmu Filsafat dan Psikologi bagi Santri? Begini Ulasan Kiai Taufik Gedongan

Pengasuh Pondok Pesantren Gedongan, Cirebon, Jawa Barat, KH Taufikurrahman Yasin. Dok MEDIA PESANTREN GEDONGAN

Ikhbar.com: Zaman modern kian menggiring manusia untuk memandang realitas dengan menggunakan kaca mata pinggiran, bukan substansial spiritual. Dampaknya, agama dianggap sebagai sesuatu yang tidak lagi berguna.

Demikian disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Gedongan, Cirebon, Jawa Barat, KH Taufikurrahman Yasin, saat membuka “Seminar Nasional: Penguatan Dimensi Spiritual dalam Kegalauan Sosial Global,” yang digelar dalam rangka memperingati Haul Ke-93 KH Muhammad Said, Sesepuh, dan Warga Pondok Pesantren Gedongan, pada Ahad, 14 Januari 2024.

“Agama semakin ditinggal, terlebih setelah munculnya teknologi informasi berupa ponsel dan jejaring internetnya. Dunia ini semakin dianggap sebagai desa kecil,” kata Kiai Taufik.

Kiai Taufik menekankan pentingnya manusia untuk memiliki kemampuan dalam membaca realitas secara menyeluruh, mulai dari realitas ilahiyah (ketuhanan), basyariyah (kemanusiaan), hingga realitas sosial.

“Tujuannya agar kehidupan kita benar-benar sempurna dari sisi agama, kesehatan berpikir, dan sisi-sisi penting lainnya. Dan para santri memiliki cara sendiri untuk memelihara eksistensi. Jika tidak, kita akan sembrono, tidak memiliki pedoman atau pegangan,” jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut Kiai Taufik, keilmuan tentang filsafat dan psikologi juga kian penting. Pasalnya, kedua parengkat itu tidak hanya akan mengantarkan manusia untuk menemukan hal-hal yang tampak, tetapi juga mengantarkan pada pemahaman-pemahaman tentang ruang-ruang yang tidak terlihat. Seperti, tentang akhirat, dan lainnya.

“Maka dari itu, santri harus paham filsafat, harus paham psikologi,” tegasnya.

“Kita tidak cukup hanya meyakini tanpa adanya kajian yang mendalam,” sambung Kiai Taufik.

Pengasuh Pondok Pesantren Gedongan, Cirebon, Jawa Barat, KH Taufikurrahman Yasin (kedua dari kiri), saat membuka “Seminar Nasional: Penguatan Dimensi Spiritual dalam Kegalauan Sosial Global,” yang digelar dalam rangka memperingati Haul Ke-93 KH Muhammad Said, Sesepuh, dan Warga Pondok Pesantren Gedongan, pada Ahad, 14 Januari 2024. IKHBAR/Uki

Baca: Bagaimana Proses Kebenaran Dicerna Tubuh? Ini Penjelasan Buya Said Aqil

Mengenali dan mengendalikan eksistensi

Kiai Taufik menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk eksistensial. Artinya, manusia ada dan punya cara untuk menunjukkan keberadaannya.

“Berbeda dengan kambing atau pun kerbau, dia ada, tetapi tidak punya cara untuk menunjukkan bahwa dia ada,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut Kiai Taufik, banyak lema yang dipakai dalam Bahasa Arab untuk mengarah pada pengertian manusia. Manusia bisa disebut sebagai “basyarun” yang merujuk pada arti “kulit.” Pasalnya, manusia memiliki perasaaan sensitif, seperti halnya kesensitifan kulit saat terkena benda tajam.

Manusia juga kerap disebut “insanun,” yang diambil dari saripati lafal “nisyan” bermakna lupa. Sebab, manusia adalah makhluk yang berpotensi dihinggapi kelupaan, termasuk lupa terhadap dirinya sendiri.

“Sering pula disebut dengan ‘mar’un‘ yang bermakna serba-ingin dilihat atau terlihat. Manusia memang sejatinya makhluk yang narsis,” ulas Kiai Taufik.

Menurut Kiai Taufik, ulasan-ulasan seperti itu sangat akrab dalam dunia filsafat.

“Filsafat itu ada dua pandangan. Kalau dalam pandangan modern, inti filsafat adalah keraguan. Segala sesuatu diragukan, kecuali keraguan itu sendiri. Tapi menurut sebagian orang, inti filsafat adalah kepastian, ia dianggap sebagai cara pandang, cara berpikir yang tanpa premis,” katanya.

Dari pengertian itu, kemudian manusia akan belajar tentang bagaimana cara mempertemukan dua pandangan yang saling kontra tersebut. Prinsip berlatih dalam mengelola akal dan pandangan ini justru penting dalam pembelajaran dan penguatan aspek keagamaan seseorang.

“Maka di sana ada jalan, kita tidak hanya bisa mengikuti perintah naql (dalil), seperti Al-Qur’an, hadis, maupun pendapat ulama. Tapi di sana juga ada aql (akal) yang bisa diberdayakan. Di sinilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain,” kata Kiai Taufik.

Umat Islam penting untuk turut mempelajari filsafat justru demi memperkuat keimanan yang dimilikinya. Menurut Kiai Taufik, lahirnya ilmu tauhid pun muncul di masa-masa ketika platonisme (salah satu aliran filsafat) mulai mengganggu, bahkan merusak pemikiran umat Islam.

“Lalu lahirlah ilmu tauhid yang dipelopori Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Mathuridi, kemudian didukung sejumlah ilmuwan berikutnya, seperti Abdullah Ibnu Al Mubarak, Al Razi, dan seterusnya. Rangkaian-rangkaian falsafah inilah yang harus kita ketahui,” kata Kiai Taufik.

Baca: Pengaruh Iman dan Moral terhadap Kesehatan Mental

Perangkat pengetahuan lain yang perlu dipahami para santri, lanjut Kiai Taufik, adalah ilmu psikologi. Sebab, pengetahuan itu akan mengantarkan pada pemahaman mendalam tentang jiwa dan hal-hal penting yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri.

“Sebenarnya filsafat dan psikologi memiliki objek yang sama. Kalau filsafat adalah mempersatukan kontradiksi tadi. Psikologi lebih ke kajian tentang mental, perasaan, ilham, emosi, keinginan, dan sejenisnya. Kenapa (ini penting)? Karena akal manusia terkadang kalah oleh nafsu, syahwat, dan hasrat, sehingga akhirnya hidup tanpa pedoman. Di sinilah awal mula rusaknya umat manusia,” pungkas Kiai Taufik.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya diĀ Google News.