Ikhbar.com: Masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah dimulai. Momen ini dinanti-nantikan untuk mendengar penjelasan gagasan dari para calon pemimpin negara selama lima tahun ke depan.
Namun, di sisi lain, banyak pihak khawatir bahwa pesta demokrasi tersebut dapat menimbulkan perpecahan di antara sesama bangsa. Hal ini disebabkan pengalaman dua Pilpres sebelumnya yang meninggalkan memori kolektif pembelahan sosial yang signifikan.
Oleh sebab itu, Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, KH Muhammad Musthofa Aqiel Siroj menyatakan, bangsa Indonesia sangat berharap rahmat, perlindungan, dan pertolongan dari Allah Swt agar bisa terbebas dari segala hal yang merugikan. Satu-satunya cara ialah dengan memperbanyak zikir.
“Zikir adalah amaliyah untuk mengetuk pintu Allah agar berkenan membuka pintu dan menurunkan rahmat-Nya. Khususnya, rahmat bagi bangsa Indonesia yang sebentar lagi memasuki tahun politik,” ungkap Kiai Musthofa, dalam artikel berjudul “Kiai Musthofa Aqiel: Berzikirlah, tidak Ada yang Bisa Diharap Selain Allah” di Ikhbar.com pada Kamis, 3 Agustus 2023 lalu.
Kiai Musthofa melanjutkan, zikir ialah kalimat sakral yang hanya bisa dilafalkan orang-orang dengan hati yang bersih.
Dalam QS Ar-Ra’d: 28, Allah Swt berfirman:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”Meski begitu, sambung Kiai Musthofa, manusia pun tetap dituntut untuk melakukan ikhtiar agar cita-cita perdamaian, keamanan, dan ketenangan itu bisa terwujud.
Baca: Ikhlas Adalah Puncak Mahabah
Dibarengi ikhlas
Hasil akhir dari usaha dan doa yang sudah diupayakan itu sepatutnya dilandasi keikhlasan kepada Allah Swt. Sebab, ikhlas merupakan dasar sekaligus pemicu dari semua bentuk peribadatan.
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. Buya KH Said Aqil Siroj mengungkapkan, ikhlas menjadi penanda puncak mahabah atau kecintaan terhadap Allah Swt.
“Al-ikhlas syiar al-mahabbah, ikhlas itu simbol cinta,” kata Buya Said.
Menurut Buya Said, dengan cinta, segala hal akan menjadi lebih terasa ringan dijalankan.
“Dengan kecintaan terhadap Allah, salat akan menjadi ringan, kewajiban zakat dan haji yang membutuhkan biaya juga akan terasa enteng,” katanya.
Tujuan duniawi dan ukhrawi
Umat Muslim seharusnya tidak memisahkan kepentingan hidup dengan pengabdian kepada Allah Swt. Karena pada kenyataannya, ajaran Islam memasukkan nilai-nilai sosial dalam kewajiban ibadah, begitu pula sebaliknya, aktivitas sosial dapat mencapai derajat ibadah.
Sebagai contoh, kewajiban salat tidak semata-mata berdimensi spiritual, akan tetapi juga mendorong terjadinya dampak sosial yang baik.
Allah swt berfirman dalaam QS Al-Ankabut: 45:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Meskipun demikian, tidak jarang orang menganggap bahwa kedua aspek tersebut merupakan pilihan, alias tidak koheren. Sehingga keliru memahami konsep zuhud yang menjadi panduan tasawuf dalam menata perilaku ibadah dan sosial.
Amin Syukur dalam Zuhud di Abad Modern (2009) menegaskan, praktik zuhud pada masa Rasulullah Muhammad Saw tidak diaplikasikan dengan mengisolasi diri atau memberi jarak dengan kebutuhan duniawi. Akan tetapi, zuhud justru dimaknai sebagai daya aktif untuk menggeluti kehidupan dunia sebagai bekal menuju akhirat.
Baca: Benarkah Zuhud Harus Tinggalkan Urusan Dunia?
“Jadi, Rasulullah dan sahabatnya tidak memisahkan secara dikotomik antara dua kehidupan dunia dan akhirat, melainkan satu sama lain mempunyai hubungan. Bahkan Nabi menyebut bahwa dunia adalah ladang akhirat,” tulis Amin.
Sementara itu, Imam Al-Qurthubi dalam Jami’ al-Ahkam al-Qur’an mengungkapkan bahwa hakikat manusia yang tertipu dengan dunia adalah mereka yang tidak beriman kepada Allah.
“Sementara bagi orang-orang yang beriman mereka menjadikannya sebagai sarana untuk memasuki surga-Nya,” jelas Imam Al-Qurthubi.