Ikhbar.com: Perayaan Idulfitri berangsur-angsur meredup. Laju penanggalan Syawal mengantarkan tiap-tiap manusia kembali ke aktivitas muasalnya. Yakni, hari-hari penuh perkara duniawi, yang tetap dianjurkan untuk mengimbanginya dengan amalan-amalan bersifat ukhrawi.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib punya slogan khusus demi menjaga ritme ketakwaan yang telah ditempa selama Ramadan. Menantu sekaligus sepupu Rasulullah Muhammad Saw itu berpesan agar setiap orang menjadikan hari-harinya untuk terus selaras dengan semangat Idulfitri.
هر روزی که گناهی در آن صورت نگیرد، عید است. عید روزی است که انسان به فطرت و اصل” “خداشناسی خود برگردد
“Setiap hari adalah Idulfitri bagi mereka yang tidak melakukan dosa. Hari Id adalah kembalinya manusia ke fitrah dan asalnya di hadapan Tuhan.”
Khauf dan raja
Sementara, Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan, penting bagi seorang Muslim untuk menanamkan energi khauf (rasa takut) dan raja (harapan). Hal itu, demi tetap menjaga kesalehan yang telah diraih selama bulan suci Ramadan.
أن يكون قلبه بعد الإفطار معلقاً مضطرباً بين الخوف والرجاء إذ ليس يدري أيقبل صومه فهو من المقربين أو يرد عليه فهو من الممقوتين؟ وليكن كذلك في آخر كل عبادة يفرغ منها
“Setelah selesai berpuasa, tanamkanlah di dalam hati antara khauf dan raja. Karena seseorang tidak tahu, apakah puasanya diterima, sehingga termasuk hamba yang dekat dengan Allah. Atau sebaliknya, puasanya ditolak, sehingga termasuk orang yang mendapat murka dari-Nya. Hendaklah setiap selesai beribadah tanamkan rasa seperti itu.”
Imam Ghazali mengistilahkan khauf dan raja bak dua sayap seekor burung. Jika hanya satu yang difungsikan, seekor burung niscaya tidak mungkin bisa terbang sempurna. Terlebih jika tidak memiliki keduanya, maka burung itu akan jatuh dan tidak bisa terbang kembali.
Di setiap kali menuntaskan sebabak ibadah, seorang Mukmin harus menanamkan rasa takut sekaligus harap secara berbarengan. Takut akan ibadahnya tidak diterima, juga berharap Allah Swt memberikan balasan atas segala amal dan ibadah yang telah dilakukan.
Pemahaman itu, merujuk pada hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ اْلمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوْبَةِ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ
“Seandainya seorang Mukmin mengetahui siksa yang ada di sisi Allah, niscaya tidak ada seorang pun yang menginginkan surga-Nya. Dan seandainya orang kafir itu mengetahui rahmat Allah, maka niscaya tidak ada seorang pun yang berputus asa untuk mengharapkan surga-Nya.” (HR. Muslim)
Penataan hati
Para ulama, terutama dari kalangan tasawuf, memandang bahwa Ramadan dan Idulfitri tidak hanya wajib berbuah dalam peribadatan yang bersifat hablum minallah (hubungan manusia dengan Allah Swt), akan tetapi juga mempengaruhi peningkatan sikap terhadap sesama manusia.
Maulana Jalaluddin Rumi dalam Masnawi mencontohkan betapa banyak umat Islam yang bertawaf di hadapan Ka’bah, akan tetapi hati mereka kotor dan tidak mencerminkan eksistensinya sebagai manusia.
Maulana Rumi menyimpulkan, tidak sedikit Muslim yang beribadah kepada Allah Swt, akan tetapi tidak berbanding lurus dengan ibadah pada lingkup sosial. Akibatnya, jiwa manusia menjadi kotor dan tidak dapat mengalami kesempurnan.
Manusia yang mampu mengaktualkan ruang peribadatan dan sosial akan membersihkan dan menyucikan dan menyinari jiwanya, sehingga memperoleh hadiah ilahi, sebagaimana pemaknaan Idulfitri di setiap hari, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Sayyidina Ali.
Para Sufi memandang manusia sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan suci, harus bisa kembali dalam keadaan suci; sebagaimana ia berasal dari Zat Yang Maha Suci.
Dalam salah satu bait puisinya, Maulana Rumi menjelaskan bahwa manusia telah begitu jauh mencari-Nya. Mereka pergi ke Ka’bah, pegunungan Herat, dan gunung Kaf, akan tetapi tidak menemukan Allah Swt; hingga mereka melihat hati sebagai perbendaharaan agung dan menemukan-Nya di sana.
Puisi Rumi itu, pada dasarnya berusaha menyadarkan manusia bahwa hati merupakan daya persepsi yang dimiliki. Di awal penciptaan, hati manusia begitu suci. Namun, semakin menapaki kehidupan, hati manusia kian kotor yang berimbas pada kebersihan jiwa manusia secara keseluruhan.
Baik Sayyidina Ali, Maulana Rumi, maupun Imam Al-Ghazali, mereka memaknai bahwa Idulfitri adalah momentum untuk membersihkan hati sebagai asal penciptaan manusia sekaligus menjadi jalan dan ruang kembali ke hadapan Ilahi. Di samping itu, pascaidulfitri berarti menjaga semangat ketundukan kepada Tuhan, dan menyempurnakannya lewat peningkatan ibadah sosial.