Ikhbar.com: Bagi para ulama sufi, cinta kepada Nabi Muhammad Saw merupakan inti dari kehidupan spiritual mereka. Cinta yang mendalam ini diekspresikan tidak hanya melalui ibadah formal, tetapi juga melalui tindakan-tindakan yang penuh kasih dan rasa syukur kepada Allah Swt menganugerahi manusia dengan kehadiran Sang Manusia Sempurna.
Dalam konteks memperingati Maulid atau hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, para sufi meyakini bahwa momen ini merupakan kesempatan penting untuk merenungi kembali kedudukan Rasulullah Saw sebagai manusia agung yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta.
Baca: Gema Puisi Kelahiran Nabi, Riwayat Al-Barzanji
Zikir dan selawat
Imam Al-Ghazali, seorang sufi dan teolog besar dari abad ke-11, dalam karya fenomenalnya, Ihya Ulumuddin, menekankan pentingnya zikir dan selawat sebagai bentuk pengabdian dan persembahan di hari kelahiran Nabi Akhir Zaman. Al-Ghazali berpendapat, mengingat Rasulullah Saw, terutama pada momen Maulid, adalah sarana untuk membersihkan hati dan memperbarui iman.
Bagi Al-Ghazali, Maulid bukan hanya soal merayakan kelahiran Nabi secara historis, tetapi lebih sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas cinta kepada Allah Swt dengan cara meneladani Rasul-Nya. Oleh karena itu, Maulid Nabi menjadi kesempatan yang sangat penting bagi para ulama tasawuf untuk memperkuat hubungan spiritual mereka dengan Allah melalui Nabi Muhammad Saw.
Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, peringatan Maulid Nabi menjadi sarana untuk mengingatkan kembali betapa berharganya Rasulullah Saw sebagai pembawa risalah terakhir dan pemimpin seluruh umat manusia. Melalui perayaan ini, para pengikutnya diajak untuk merenungkan, mengamalkan, dan menghidupkan kembali akhlak Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Imam Al-Ghazali juga percaya bahwa kehadiran Nabi Muhammad Saw membawa rahmat bukan hanya untuk manusia, tetapi juga bagi seluruh alam. Peringatan Maulid menjadi refleksi atas peran beliau sebagai perantara rahmat Ilahi, yang menjembatani manusia dengan Tuhan melalui pesan kasih sayang dan keadilan.
Bagi Al-Ghazali, setiap kali seorang Muslim memperingati Maulid, ia sedang memurnikan hatinya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai Nabi yang dikirimkan-Nya.
Baca: Maulid Nabi dari Kacamata Astronomi
Ekspresi cinta dan penghormatan
Maulid Nabi dalam tradisi sufi seringkali dipenuhi dengan berbagai ekspresi cinta dan penghormatan yang sangat mendalam. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, yang juga merupakan tokoh sufi besar dari abad ke-12, menekankan dalam karyanya, Al-Ghunyah, bahwa peringatan Maulid Nabi adalah salah satu cara paling efektif untuk memperdalam rasa cinta kepada Rasulullah Saw.
Al-Jailani mengajarkan bahwa cinta kepada Nabi tidak hanya dimanifestasikan melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan nyata, seperti membaca selawat, zikir, dan merenungi kehidupan serta ajaran Nabi Muhammad Saw.
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Maulid adalah momen ketika umat Muslim dapat mengingat kembali betapa pentingnya peran Rasulullah Saw dalam kehidupan mereka. Al-Jailani juga menyebutkan bahwa Maulid adalah waktu yang tepat untuk memperkuat hubungan rohani dengan Rasulullah melalui zikir dan munajat.
Dalam tradisi sufistik yang diwariskan oleh Al-Jailani, Maulid sering kali dijadikan sebagai ajang kontemplasi yang mendalam. Seorang murid atau pengikut tarekat diajak untuk merenungi peran Nabi dalam kehidupan spiritual mereka. Rasulullah Saw tidak hanya dilihat sebagai sosok historis, tetapi juga sebagai sumber inspirasi yang abadi, yang melalui kecintaannya kepada Allah Swt menjadi contoh tertinggi bagi manusia.
Al-Jailani juga mengutip hadis-hadis yang menekankan pentingnya cinta kepada Nabi sebagai bentuk ibadah yang sangat dianjurkan. Salah satunya adalah hadis Nabi Saw yang berbunyi, “Tidak sempurna iman seseorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada dirinya sendiri, keluarganya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bagi Al-Jailani, hadits tersebut menjadi dasar kuat untuk menjadikan Maulid Nabi sebagai salah satu sarana meningkatkan keimanan melalui cinta kepada Rasulullah Saw.
Selain itu, tradisi sufi yang berkembang setelah Al-Jailani juga sering menggunakan perayaan Maulid sebagai momen untuk mendidik umat tentang ajaran Nabi yang penuh cinta kasih. Dalam peringatan Maulid, sering kali disampaikan kisah-kisah kehidupan Nabi yang penuh teladan dan kebijaksanaan, sehingga para peserta dapat merasakan kembali kehadiran spiritual Nabi di tengah-tengah mereka. Hal ini tidak hanya dilakukan dalam bentuk ceramah, tetapi juga melalui seni, seperti syair, kasidah, dan zikir bersama.
Di Turki Ottoman, peringatan Maulid dikenal sebagai “Mevlid” dan sudah menjadi bagian dari kebudayaan sejak abad ke-14. Salah satu tokoh yang turut berkontribusi dalam penguatan tradisi ini adalah Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar dari Persia yang kemudian berpindah ke Anatolia.
Dalam karya-karyanya, seperti Masnavi, Rumi menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai “mata air cinta Ilahi” dan sumber kebahagiaan bagi jiwa manusia. Melalui perayaan Maulid, Rumi mengajarkan bahwa cinta kepada Nabi adalah refleksi dari cinta kepada Tuhan. Bagi Rumi, Maulid bukan hanya perayaan historis, melainkan ajang bagi umat Muslim untuk memperkuat kecintaan mereka kepada Allah dengan cara meneladani Nabi Muhammad Saw.
Baca: Maulid Nabi, Momentum Gen Z Kenali Keadilan Hakiki
Aktualisasi Maulid Nabi dalam kehidupan kontemporer
Peringatan Maulid Nabi dalam kehidupan kontemporer tetap relevan, terutama sebagai sarana spiritual untuk memperkuat nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin.
Para sufi modern, seperti Syekh Hamza Yusuf, seorang intelektual Muslim dari Amerika, juga mengajarkan pentingnya Maulid sebagai momen untuk memperbaiki hubungan dengan Nabi Muhammad Saw. Dalam Purification of the Heart (2004), Hamza Yusuf menekankan bahwa memperingati Maulid adalah salah satu cara untuk membersihkan hati dari kesombongan dan kecintaan duniawi. Baginya, Maulid adalah momentum refleksi di mana umat dapat mengevaluasi sejauh mana mereka telah meneladani akhlak Nabi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Journal of Islamic Studies (2020), disebutkan bahwa perayaan Maulid Nabi juga dapat berfungsi sebagai sarana mempererat ukhuwah Islamiyah. Di berbagai negara Muslim, perayaan Maulid sering kali dijadikan sebagai ajang untuk menebarkan pesan-pesan kedamaian dan kasih sayang yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Dalam artikel tersebut, para peneliti menunjukkan bahwa Maulid memiliki potensi untuk meredakan ketegangan sosial dan memperkuat solidaritas di antara umat Islam.
Pandangan ini didukung oleh banyak ulama sufi kontemporer yang melihat Maulid sebagai kesempatan untuk memperkuat ukhuwah dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Maulid di masa kini tidak hanya dirayakan dalam bentuk seremonial, tetapi juga dalam bentuk aksi sosial, seperti pemberian santunan kepada kaum dhuafa, pembacaan kisah-kisah teladan Nabi, dan pengajian bersama. Tradisi ini tetap dipelihara oleh tarekat-tarekat sufi di seluruh dunia, seperti Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, dan lainnya.
Melalui pandangan dan pengalaman para ulama sufi, memperingati Maulid Nabi bukanlah sekadar perayaan simbolis, tetapi momen spiritual yang sangat dalam. Dari Imam Al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, hingga tokoh-tokoh modern seperti Syekh Hamza Yusuf, semua sependapat bahwa Maulid Nabi adalah kesempatan untuk memperkuat cinta kepada Rasulullah Saw dan mendekatkan diri kepada Allah. Para sufi menggunakan momen ini untuk merenungi ajaran dan teladan Nabi, sehingga perayaan Maulid bukan hanya pengingat kelahirannya, tetapi juga ajang untuk memperbarui komitmen terhadap ajaran-ajaran Islam yang penuh kasih sayang, rahmat, dan kedamaian.