Ikhbar.com: Praktik menyembelih hewan kurban tidak hanya ditemukan pada syariat Islam. Dalam sejarahnya, umat terdahulu juga melaksanakan ritual yang serupa.
Intelektual Muslim Indonesia, Prof. Nadirsyah Hosen dalam Ngaji Fikih (2020) menyebutkan, penganut ajaran animisme meyakini bahwa persembahan darah merupakan asupan penguasa langit.
“Apabila penguasa langit lemah karena tidak diberi persembahan darah maka manusia akan sulit menguasai dan mendominasi bumi. Oleh karena itu, diadakanlah pengorbanan untuk dipersembahkan kepada penguasa langit dengan harapan mereka akan diberi kekuatan untuk memenangi peperangan dan semisalnya,” tulis Gus Nadir, dikutip pada Kamis, 29 Juni 2023.
Menurutnya, bentuk pengorbanannya pun bermacam-macam. Ada yang hanya mengorbankan hewan ternak, ada pula yang bahkan sampai tingkat paling ekstrem, yakni mengorbankan manusia.
Praktik kurban ini sempat dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka mempersembahkan darah dan daging hewan hasil sembelihan kepada berhala-berhala.
Baca: Iman dan Darah
Berhala-berhala tersebut kemudian mereka lumuri dengan darah dan daging hewan yang dikurbankan. Sebagian sahabat Nabi Muhammad Saw yang melihat tradisi tersebut kemudian tergerak hati untuk melakukan hal yang sama. Hingga kemudian turunlah QS. Al-Hajj: 37. Allah Swt berfirman:
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dalam Ruh al-Ma’ani, Imam Mujahid menjelaskan, ayat tersebut turun berkenaan dengan para sahabat Nabi Saw yang berniat melakukan hal yang sama dengan masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka beranggapan bahwa melumuri dinding ka’bah dengan darah hewan kurban merupakan sebuah penghormatan.
Ayat tersebut turun untuk menegaskan bahwa yang dinilai dari ibadah kurban ialah ketakwaan dan ketulusan, bukan daging dan darahnya sebagaimana pemahaman kaum musyrik.
Imam Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya menegaskan bahwa ayat tersebut menegaskan bahwa inti dari amal ibadah adalah keikhlasan. Menurutnya, rida Allah Swt tidak akan dicapai hanya dengan bekal daging dan darah kurban, melainkan dengan amal saleh dan disertai niat yang ikhlas karena Allah semata.
Sementara itu, dalam Tafsir Ibn Katsir dijelaskan, Allah Swt mensyariatkan kurban agar ketika proses penyembelihannya, manusia dapat mengingat Allah Swt sebagai satu-satunya Pencipta dan Pemberi Rezeki.
“Allah Swt sama sekali tidak butuh kepada pengorbanan manusia, sebab Dia adalah Dzat Yang Maha Kaya dan tidak butuh kepada makhluk,” tulis Imam Ibn Katsir.
Imam Ibn Katsir juga menjelaskan, tujuan ibadah kurban adalah melatih jiwa manusia untuk ikhlas dan tunduk pada perintah Allah Swt.
“Manusia dituntut untuk mengambil ibrah dari asal-usul syariat kurban, yaitu kisah Nabi Ibrahim as yang diperintahkan untuk menyembelih putranya sendiri. Dengan lapang dada dan penuh ketulusan, beliau bahkan mau mengorbankan putranya sendiri demi menjalankan perintah Allah Swt,” tulisnya.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali menjelaskan, tujuan utama dari penyembelihan kurban bukanlah darah dan dagingnya. Akan tetapi, ia hanya merupakan simbol dari kecenderungan hati kepada dunia yang harus dipangkas demi mencapai rida Allah. Hal ini akan digapai dengan niat yang tulus dan ikhlas.
Sedangkan Syekh Ibnu Ajibah dalam Al-Bahr al-Majid menjelaskan, di dalam QS. Al-Hajj: 37 terdapat isyarat bahwa pada hakikatnya sebuah amal saleh belum tentu sampai kepada Allah Swt, melainkan yang akan diterima adalah hati merana karena cinta dan disembelih dengan pedang kerinduan untuk kemudian dipersembahkan dalam mihrab kasih.