Ikhbar.com: Wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw dari Allah Swt melalui Malaikat Jibril berisi perintah untuk berliterasi. Di dalamnya memuat imbauan kepada umat Muslim untuk membaca.
Demikian disampaikan Maulana Abdul Aziz saat mengisi acara Talk Show Sambut Ramadan yang digelar komunitas Lentera Baca pada Sabtu, 9 Maret 2024.
Acara yang berlangsung di Halaman Musala Nuruzzaman, Japura Kidul, Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat itu mengusung tema “Merawat Literasi di Bulan Suci.”
“Kata ‘Iqra’ atau bacalah yang diulang sebanyak dua kali dalam QS. Al-‘Alaq jelas menandakan betapa pentingnya membaca,” ujar Aziz.
Baca: Jam Berapakah Keumuman Masyarakat Indonesia Makan Sahur? Ini Datanya
Selain membaca, Aziz juga menyarankan umat Muslim untuk menulis. Anjuran tersebut juga seperti yang tercantum dalam QS. Al-‘Alaq ayat 4. Allah Swt berfirman:
الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ
“yang mengajar (manusia) dengan pena.”
“Meski kualitasnya dipertanyakan, dalam literatur hadis juga disebutkan terkait pentingnya membaca atau menuntut ilmu, yakni Utlubul Ilma Minal Mahdi ilal Lahdi (Carilah ilmu mulai dari ayunan, hingga liang lahat (kuburan),” ujar pegawai Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Cirebon itu.
Meski dalam beberapa literatur keislaman dijelaskan pentingnya membaca dan menulis, Aziz menyebut pada kenyataannya umat Muslim saat ini justru lebih dekat dengan gadget.
“Anak-anak saat ini lebih asik main game online ketimbang membaca buku,” katanya.
Padahal, kata dia, seseorang yang ingin sukses dunia akhirat harus menguasai ilmu, langkah pertamanya tentu dengan giat membaca. Hal itu seperti dalam redaksi hadis berikut:
ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻷَﺧِﺮَﺓَ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَﻫُﻤَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ
“Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah berilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.”
Meski demikian, kata dia, tidak semua cabang keilmuan harus dikuasai. Makanya ada istilah ungkapan perspektif khusus.
“Misalnya ahli tafsir disebut mufasir, ahli fikih disebut fuqaha, di dalam akademisi disebut Profesor,” ucap dia.
Oleh sebab itu, jika umat Muslim menyukai satu cabang keilmuan, maka perdalamlah agar menjadi seorang yang ahli di bidang tersebut.
Dalam kesempatan itu, Aziz juga menjelaskan risiko umat Muslim jika meninggalkan kewajiban berliterasi. Mereka yang enggan belajar, maka harus siap menerima kebodohan.
Di sisi lain, kata dia, jika seseorang meninggalkan kewajiban menuntut ilmu, maka berarti dia menghindari pemberian derajat dari Allah Swt. Hal itu seperti yang tertuang dalam QS. Al-Mujadalah: 12. Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’, lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, ‘Berdirilah,’ (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”