Ikhbar.com: Amar makruf nahi mungkar merupakan istilah yang digunakan dalam Islam untuk mengajak kepada jalan kebaikan dan mencegah keburukan atau kejahatan. Umat Muslim percaya bahwa dengan menerapkan prinsip tersebut, seseorang akan mendapatkan keridaan Allah Swt.
Kata amar makruf nahi mungkar banyak dijumpai dalam sejumlah literatur Islam. Di dalam Al-Qur’an, setidaknya kata tersebut disebutkan sebanyak sembilan kali.
Salah satun ayat tentang amar makruf nahi mungkar terdapat pada QS. Ali Imran: 104. Allah Swt berfirman:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungar). Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Baca: Penguatan Dakwah Digital, Adaptasi Adalah Kunci
Beda al-ma’ruf dan al-khair
Ulama ahli tafsir Al-Qur’an Indonesia, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menyebutkan, kata “al-khair” dalam ayat tersebut merupakan nilai universal yang diajarkan Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad Saw.
“Sementara kata ‘al-ma’ruf‘ adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat, selama ia sejalan dengan ‘al-Khair,” jelas Prof. Quraish.
Sedangkan kata “al-munkar,” kata Prof. Quraish, adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi.
“Karena itu, ayat tersebut menekankan perlunya mengajak kepada ‘al-khair‘ atau kebaikan, memerintahkan yang makruf, dan mencegah yang mungkar,” katanya.
Melalui ayat tersebut, Prof. Quraish mengimbau masyarakat untuk mendahulukan ajakan “al-khair.” Barulah setelah itu memerintahkan kepada makruf dan melarang melakukan yang mungkar.
“Perlu dicatat bahwa konsep makruf hanya membuka pintu bagi perkembangan positif masyarakat, bukan perkembangan negatifnya,” jelas dia.
Dari sini, kata Prof. Quraish, filter “al-khair” harus benar-benar difungsikan. Demikian juga halnya dengan mungkar, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pandangan tentang muruah, identitas, dan integritas seseorang.
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ li Bayan al-Qur’an berpendapat bahwa perintah amar makruf nahi mungkar tidak dikhususkan kepada umat Islam.
“Pada ayat lain, perintah untuk mengajak kepada kebaikan dan menolak kerusakan juga dialami umat atau bangsa sebelumnya, meski tidak disebutkan secara spesifik,” jelasnya.
Baca: Siapakah yang Layak Disebut Ulama? Ini Syarat dan Ketentuannya
Kriteria amar makruf nahi mungkar
Sementara itu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan, amar makruf nahi mungkar adalah poros atau tiang agama.
Menurut Imam Al-Ghazali, untuk membumikan ajaran amar makruf nahi mungkar, ruang lingkup yang hendak dicapai harus bersinergi antara satu dengan lainnya. Ia harus memulai dari pribadinya sendiri agar dapat menjadi Mukmin teladan.
Al-Ghazali juga mengimbau umat Muslim untuk tidak sembrono menerapkan konsep amar makruf nahi mungkar. Baginya, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yakni mempunyai ilmu, wara‘, dan akhlak yang luhur.
“Dengan ilmu pengetahuan, seorang yang melakukan amar makruf nahi mungkar harus mengetahui kapan, di mana, dan bagaimana dia melaksanakan hal itu agar tetap dalam kerangka syariat dan tidak melampauinya,” kata Imam Al-Ghazali.
Sementara wara‘ menurut Imam Al-Ghazali adalah sifat tulus dan hati-hati. Dengan demikian, orang yang melakukan tindakan amar makruf nahi mungkar akan terhindar dari melanggar batas yang telah diketahuinya.
“Sebab, tidak semua orang telah mengetahui dan bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu,” katanya.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah akhlak yang luhur. Jika sudah bermodalkan hal tersebut, maka seseorang yang melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar bisa melakukannya dengan cara yang halus dan lemah lembut.
“Bahkan dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan yang terpenting di antara penyebab keberhasilannya dalam melaksanakan perintah amar ma’ruf nahi mungkar. Sebab ilmu dan wara‘ saja tidak cukup,” tegas Imam Al-Ghazali.
Pasalnya, lanjut Imam Al-Ghazali, jika emosi dan amarah dalam hati si pelaku kejahatan telah memuncak, maka tidak akan berguna ilmu dan wara‘ itu, kecuali ia dibarengi dengan akhlak luhur yang dapat diterima baik oleh semua orang.
“Hanya dengan ketiga sifat tersebut, tindakan amar makruf nahi mungar dapat menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah Swt, dan dengan itu pula kemungkaran dapat dicegah,” jelasnya.
Sebaliknya, kata Imam Al-Ghazali, tanpa ketiga sifat itu, kemungkaran tidak mungkin dapat tercegah. Bahkan mungkin saja tindakan ber-amar makruf nahi mungkar itu justru bisa menimbulkan kemungkaran yang lain akibat melampaui batas yang telah ditentukan agama.