Ikhbar.com: Ibu memiliki kedudukan yang begitu agung dalam Islam. Karenanya, tak heran jika Al-Qur’an menyebutkan beberapa kali kosa kata ibu dengan berbagai derivasinya.
Syekh Muhammad Fu’ad Abdul Al-Baqi dalam Al-Mu’jam al-Mufahras menyebutkan bahwa Al-Qur’an menyebutkan kata “umm” sebanyak 35 kali dalam berbagai bentuk. Meski demikan, dari sekian banyak penyebutan tersebut, hanya 29 akar kata “umm” yang menunjukkan arti ibu.
Berikut beberapa pengorbanan dan kemulian seorang ibu menurut Al-Qur’an:
Baca: Hari Ibu di Berbagai Negara
Masa kehamilan dan melahirkan
Saat memasuki masa kehamilan, akan ada banyak hal yang dirasa dan ditanggung seorang ibu. Pemenuhan kebutuhan yang awalnya hanya untuk dirinya sendiri, kini harus dibagi dengan janin yang ada dalam kandungannya. Keadaan tersebut akan terus berlanjut hingga janin terbentuk sempurna menjadi sosok manusia.
Gambaran kondisi fisik seorang ibu ketika mengandung disebutkan dalam QS. Luqman: 14. Allah Swt berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ
“Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami) ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.’ Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.”
Imam Al-Qurthubi dalam Jami’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan, keadaan lemah yang diderita seorang ibu ketika mengandung bayi di dalam rahimnya akan semakin bertambah hari demi hari seiring berjalannya usia kehamilan.
“Kondisi fisik perempuan memang sudah terbilang lemah. Kemudian semakin bertambah lemah lagi dengan adanya kehamilan,” tulis Imam Al-Qurthubi.
Penjelasan yang serupa juga disebutkan dalam QS. Al-Ahqaf: 15. Allah Swt berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan. Sehingga, apabila telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia (anak itu) berkata, ‘Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dapat beramal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kesalehan kepadaku hingga kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang Muslim.”
Sayid Quthb dalam Tafsir fi Zilal al-Qur’an menjelaskan, lafal “kurhan” dalam ayat tersebut tidak hanya menggambarkan kesusahan pada saat mengandung, melainkan juga dirasakan pada saat akan melahirkan.
“Pada saat mengandung, seorang ibu bagaikan orang sakit yang terus berjuang dan dirundung kemalangan, memikul beban berat, bernapas dengan susah payah dan tersengal-sengal. Ditambah lagi proses kelahiran yang membahayakan nyawa dan mencabik-cabik,” jelas Sayid Quthb.
Menurutnya, semua penderitaan, perjuangan, keletihan, kepenatan, dan kepedihan yang dirasakan seorang ibu tersebut merupakan sebuah fitrah.
“Buah penyambutan fitrah dan pemberian kehidupan kepada tunas baru yang akan hidup dan terus berkembang. Sementara dia sendiri mesti berobat bahkan meregang nyawa,” jelasnya.
Masa menyusui
Setelah melewati masa kehamilan yang berat dan persalinan yang mempertaruhkan nyawa, tanggung
jawab seorang ibu belumlah berakhir. Peran penting yang diemban ibu berikutnya adalah menyusui anaknya. Hal itu seperti yang digambarkan dalam QS. Al-Baqarah: 233. Allah Swt berfirman:
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menjelaskan, ayat tersebut menunjukkan bahwa perintah menyusui itu wajib secara mutlak. Oleh karena itu, para ibu, baik yang masih sebagai istri maupun sudah dicerai, wajib menyusui anaknya
jika tidak berhalangan, seperti sakit dan semacamnya.
“Begitu pula, kebolehan mencari ibu susu, tidak dapat menghalangi dari kewajiban menyusui. Sebab, kewajiban itu bergunan untuk menjaga kebaikan atau kesehatan anak, bukan semata menjalankan
perintah Allah Swt,” jelasnya.
Baca: Wahai Kaum Ibu, Ini Saran Al-Qur’an agar Terhindar dari Sindrom Baby Blues
Sementara itu, Syekh Mustofa Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi menegaskan, alasan utama diwajibkannya para ibu menyusui anak-anaknya adalah karena air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi menurut kesepakatan para dokter.
“Ketika bayi masih dalam kandungan, ia ditumbuhkan dengan darah ibunya. Setelah lahir, darah tersebut berubah menjadi susu yang merupakan makanan utama dan terbaik bagi bayi. Ketika ia telah lahir dan terpisah dari ibunya, maka hanya ASI yang cocok dan paling sesuai dengan perkembangannya,” tulis Syekh Al-Maraghi.