Mengingat Lima Syarat Sah Salat

Ilustrasi orang sedang salat. UNSPLASH/Levi Meir Clancy

Ikhbar.com: Salat merupakan rukun Islam kedua yang tidak bisa dilaksanakan secara sembarangan. Ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi demi menjamin keabsahan ibadah yang wajib dikerjakan sebanyak lima kali dalam sehari tersebut.

Menurut Imam Ar-Rafi’i, pengertian salat secara bahasa adalah doa. Sedangkan menurut terminologi syariat ialah serangkaian aktivitas ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri salam dengan syarat-syarat tertentu.

Baca: Belajar dari Gaza, Begini Cara Pasukan Muslim Salat di Tengah Kecamuk Perang

Syarat sah salat

Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam Fath al Qarib al-Mujib menjelaskan, syarat sah salat ada lima.

والشروط جمع شرط، وهو لغة العلامة وشرعاً ما تتوقف صحة الصلاة عليه، وليس جزءاً منها

“Lafaz ‘asy-syuruth‘ adalah bentuk jamak dari lafaz ‘syarat.’ Secara bahasa, syarat bermakna tanda. Dalam pengertian syara’, syarat ialah sesuatu yang menentukan keabsahan salat, tetapi bukan termasuk bagian darinya.”

Syarat sah salat yang pertama adalah menyucikan badan dari hadas kecil maupun besar. Hadas kecil dapat dihilangkan dengan cara berwudu, sedangkan hadas besar dientaskan dengan mandi besar.

Kedua, suci dari najis, baik yang diampuni atau tidak. Najis yang diampuni tidak wajib dibersihkan dari pakaian maupun badan.

Syarat ketiga adalah kesucian tempat salat. Jika seseorang memiliki najis pada badan atau pakaiannya akibat terdampak dari tempat salat yang najis, maka salatnya dianggap tidak sah.

Keempat, mengetahui kedatangan waktu salat secara pasti atau berdasarkan dugaan yang logis. Misalnya, dalam situasi yang tidak memungkinkan seseorang melihat pergerakan matahari atau ketiadaan alat penunjuk waktu, maka ia diperbolehkan untuk salat pada waktu yang ia yakini telah memasuki waktu salat.

Baca: Tutorial Bersiwak sesuai Sunah

Kekhususan

Syarat kelima adalah menghadap kiblat, yaitu Kabah. Disebut kiblat karena pada dasarnya seseorang yang melakukan salat menghadap ke arah tersebut. Sedangkan disebut Kabah karena posisi ketinggiannya.

Menghadap kiblat dengan dada merupakan syarat bagi mereka yang mampu melaksanakannya.

ويجوز ترك استقبال القبلة في الصلاة في حالتين في شدة الخوف في قتال مباح فرضاً كانت الصلاة أو نفلاً وفي النافلة في السفر على الراحلة

“Diperkenankan tidak menghadap kiblat saat melaksanakan salat di dalam dua keadaan.Yaitu saat syiddatul khauf (keadaan genting) ketika melakukan perang yang diperkenankan, baik salat fardu ataupun sunah. Kedua, ketika melaksanakan salat sunah di atas kendaraan saat bepergian (musafir),” jelas Syekh Al-Ghazi.

Syekh Al-Ghazi melanjutkan, bagi musafir yang berkendara, tidak wajib baginya untuk meletakkan kening di atas pelana. Namun, ia diperkenankan memberi isyarat saat ruku dan sujud dengan isyarat gerakan kepala lebih rendah daripada isyarat untuk rukuk.

Bagi musafir yang berjalan kaki, ia harus melakukan gerakan rukuk dan sujud secara sempurna seraya menghadap kiblat.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.