Hukum Mempermainkan Gerakan Salat

Ilustrasi orang sedang salat. Dok ISTOCKPHOTO

Ikhbar.com: Bergurau dihukumi boleh selama tidak melibatkan ujaran atau tindakan yang merendahkan Allah Swt, Rasul-Nya, dan agama-Nya. Imam Al-Bukhari dalam Al-Jami al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulilah wa Sunanihi wa Ayyamihi atau Sahih Bukhari, bahkan menyebutkan bab tersendiri kebolehan tersebut saat menjelaskan tentang kegembiraan dan bersosialisasi.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Muhammad Saw juga sering bergurau dengan para sahabat atau pernah menyapa seorang anak kecil dengan menggunakan panggilan akrab.

Namun, jika melampaui batas dengan mencemooh dan mengejek aspek agama, hukum-hukum, dan ajaran Islam, seperti salat, azan, dan ibadah lainnya, maka tindakan atau ujaran tersebut dihukumi haram.

Baca: Hukum Komedi ‘Roasting’ menurut Islam

Ciri orang munafik

Memperolok ajaran dan hukum agama kerap dilakukan oleh orang-orang munafik. Dalam QS. At-Taubah: 64-66, Allah Swt berfirman:

يَحْذَرُ الْمُنٰفِقُوْنَ اَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُوْرَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ ۗ قُلِ اسْتَهْزِءُوْا ۚ اِنَّ اللّٰهَ مُخْرِجٌ مَّا تَحْذَرُوْنَ

“Orang-orang munafik itu takut jika diturunkan suatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah (kepada mereka), ‘Teruskanlah berolok-olok (terhadap Allah dan Rasul-Nya).’ Sesungguhnya Allah akan mengungkapkan apa yang kamu takuti itu.”

وَلَئِنْ سَاَ لْتَهُمْ لَيَـقُوْلُنَّ اِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُ ۗ قُلْ اَبِا للّٰهِ وَاٰ يٰتِهٖ وَرَسُوْلِهٖ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِءُوْنَ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

لَا تَعْتَذِرُوْا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَا نِكُمْ ۗ اِنْ نَّـعْفُ عَنْ طَآئِفَةٍ مِّنْكُمْ نُـعَذِّبْ طَآئِفَةً بِۢاَنَّهُمْ كَا نُوْا مُجْرِمِيْنَ

“Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa.”

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya dengan mengutip pendapat Ibnu Arabi menjelaskan bahwa ucapan orang munafik dapat diartikan dalam dua kemungkinan, yakni serius atau sekadar bercanda.

Akan tetapi, apapun kemungkinan yang tersirat, akibat hukumnya tetap sama, yaitu kufur. Sebab, bercanda dengan perkataan kufur dianggap sebagai perbuatan kufur, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat mengenai hal ini.

“Keseriusan dianggap sejalan dengan pengetahuan dan kebenaran, sementara berkelakar dianggap sebagai kebatilan,” tegas Ibnu Arabi.

Baca: Bangga Bermaksiat, Enggak Bahaya Tah?

Menjaga kesakralan salat

Di sisi lain, Rasulullah telah mencontohkan secara langsung kepada para sahabatnya perihal gerakan dan bacaan salat. Demi menjaga kemurnian dan kesakralan salat, maka sebagian besar ulama pun memasukkan tertib sebagai rukun yang tidak bisa ditawar.

Tertib berarti memosisikan setiap gerakan dan bacaan salat pada tempatnya. Salat harus dilakukan secara teratur dan disiplin sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah. Sehingga tidak sah salat seseorang yang mengacak-acak gerakannya dengan sesuka hati.

Dalam QS. Al-Ma’un: 5-6, Allah Swt berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya.”

Imam Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir Ad-Dimisyqi atau yang masyhur dengan nama Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, lafaz “sahun” pada ayat tersebut mencakup orang-orang yang tidak memperhatikan waktu, syarat, rukun, dan nilai-nilai kesakralan dalam salat. Jadi, orang yang mempermainkan gerakan salat di luar kepentingan ibadah termasuk orang-orang yang celaka sebagaimana yang dimaksud ayat tersebut.

Sementara menurut Imam Abu Ja’far ath-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan, lafaz “sahun” pada menyasar pada orang-orang yang tidak bisa membedakan antara sedang salat maupun tidak.

Maka, melakukan gerakan salat secara sembarangan, terlebih di luar kegiatan ibadah dan bertujuan untuk menyindir, berkelakar, atau senda gurau, maka kegiatan tersebut masuk pada kategori istihza.

Menurut kamus Lisanul Arab, lafal istihza secara bahasa bermakna sukhriyah atau melecehkan.

Imam Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan menjelaskan, hukum istihza atau menggunakan ajaran agama sebagai bahan olok-olok berdampak pada keluarnya si pelaku dari agama Islam.

Menurutnya, istihza secara hakikat adalah perilaku yang bertentangan dengan keimanan. Sebab, dasar dari sebuah keimanan adalah membenarkan ajaran Allah Swt dan tunduk kepada-Nya.

Seorang muslim harus memahami bahwa aspek ketuhanan, risalah, wahyu, dan agama adalah aspek yang patut dihormati. Tidak seorang pun boleh mencoba mencemoohnya, membuatnya sebagai bahan tertawaan, atau merendahkan dengan cara apa pun. Termasuk, mempermainkan gerakan salat meskipun dilakuka di luar waktu dan tempat ibadah.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.