Ikhbar.com: Politik identitas masih menjadi momok yang membayangi hajat demokrasi lima tahunan di Indonesia. Pasalnya, trauma kolektif atas perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 yang melibatkan isu yang menyinggung sensitifitas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) belum sepenuhnya hilang.
Kala itu, pemenangan pasangan calon (paslon) dengan cara memanipulasi dalil-dalil agama diduga ditemukan dan terjadi secara masif di masjid-masjid dan majelis keagamaan. Tak terkecuali, melalui forum-forum pengajian maupun khotbah Jumat.
Sebagai antisipasi agar hal serupa tidak terjadi di Pilpres 2024, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat (Jabar) pun merumuskan dan memutuskan “fatwa” tentang khotbah politik di tengah acara keagamaan, pada 31 Juli 2023 lalu, di Kota Banjar.
Dalam forum hasil bahtsul masail itu, LBM PWNU Jabar membahas empat masalah yang berkaitan dengan praktik politik identitas di ruang-ruang keagamaan. Yakni, hukum orasi politik di dalam masjid dan majelis-majelis keagamaan, hukum khotbah Jumat yang disisipi materi politik praktis, hukum menempelkan bendera, banner partai, atau gambar calon kontestan pemilu di masjid atau area masjid, serta hukum menjadikan ayat-ayat Al-Quran sebagai bahan plesetan atau satire untuk menyerang partai atau calon kontestan pemilu tententu.
“Orasi politik, baik bertujuan untuk mengukuhkan diri sebagai calon, maupun sindiran secara satire terhadap lawan politik yang dilakukan di dalam masjid dan majelis-majelis keagamaan adalah haram,” tulis mereka, dikutip pada Senin, 7 Agustus 2023.
Begitu juga dengan khotbah Jumat bermuatan materi politik praktis. LBM PWNU Jabar menguhukuminya haram karena berpotensi menimbulkan ghibah (gunjingan), namimah (adu domba), dan perpecahan umat.
Baca: Politik Identitas Jadi PR Pemilu 2024
Argumentasi keputusan itu berlandaskan pada pendapat ahli fikih bermazhab Syafi’iyah, Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Di dalam Al-Majmu Syarah al-Muhazzab ditegaskan bahwa segala sesuatu yang bermuatan perbuatan tercela dihukumi haram untuk dikerjakan di dalam masjid.
فاما ما فيه شئ مَنْمُومٌ كَهَجْر مُسْلِمٍ أَوْ صِفَةِ الْخَمْر أَوْ ذِكْرِ النِّسَاءِ أَوْ الْمُرْدِ أَوْ مَدْح ظالِع أو افتخارِ مَنْهِيَ عَنْهُ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فحرام
“Sejauh ada yang tercela (terjadi di dalam masjid), seperti menjauhi seorang muslim, ihwal minuman keras, membicarakan perempuan, memuji tindakan zina, menyombongkan diri dengan sesuatu yang dikecam atau sejenisnya, maka diharamkan.”

Keharaman praktik-praktik politis di dalam atau area masjid juga menyasar pada penempelan bendera atau banner partai politik atau bergambar calon kontestan pemilu. Menurut LBM PWNU Jabar, keharaman itu muncul karena hal tersebut bukan sebagai sesuatu yang manfaat dan maslahat.
Keputusan bulat itu berdasarkan pada pendapat Imam Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali Ibnu Hajar Al-Makki Al-Haitami dalam Al Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyatu li Ibni Hajar al-Haitami. Dalam kitab tersebut dijelaskan tentang keharusan menerapkan sistem sewa bagi seseorang yang akan memanfaatkan masjid untuk kepentingan pribadi.
وسئل عمن شغل بقعة من المسجد بمتاع له فهل يحرم عليه وتلزمه أجرة المثل فأجاب بقوله نقل النووي رحمه الله في فتاويه عن الغزالي أنه تلزمه أجرة البقعة ما لم يغلق باب المسجد وإلا لزمه أجرة جميعه ثم قال وهذا صحيح معتبر وتصرف الأجرة في مصالح المسجد وظاهر حرمة ذلك وإن لم يضيق على المصلين
“Seseorang ditanya tentang orang yang menyewakan tempat di masjid untuk keperluan pribadinya, apakah hal itu haram baginya dan apakah dia harus membayar sewa sesuai dengan standar harga. Dia menjawab dengan mengutip perkataan Imam Nawawi Ra dalam fatwanya berdasarkan pendapat Al-Ghazali, bahwa dia harus membayar sewa sesuai dengan standar harga selama pintu masjid tidak ditutup. Jika pintu masjid ditutup, dia harus membayar seluruh biaya sewa. Ini adalah pendapat yang sahih dan patut dipertimbangkan, dan pendapatan dari sewa tersebut digunakan untuk kepentingan masjid. Dengan demikian, secara jelas hal itu diharamkan meskipun tidak menyulitkan para jemaah.”
Baca: Cara Mengkritik Presiden Menurut Islam
Sedangkan hukum menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai bahan plesetan atau satire untuk menyerang partai politik atau calon kontestan pemilu tententu, LBM PWNU Jabar juga merekomendasikannya sebagai sesuatu yang haram. Salah satu argumentasinya didasarkan kepada hadis Nabi Muhammad Saw yang termaktub di dalam Syarah Sunan Abi Daud li Ibn Ruslan tentang pentingnya menjaga kesakralan Al-Qur’an berikut kandungan makna di dalamnya.
وروي أن رسول الله قال من تكلم في القرآن برأيه فاصاب فقد أخطأ، ومعنى هذا أن يسأل الرجل عن معنى في كتاب الله فيتسور عليه برأيه دون نظر فيما قال العلماء أو اقتضته قوانين العلوم كالنحو وليس يدخل في هذا الحديث أن يفسر اللغويون لغته والفقهاء معانيه ويقول كل واحد باجتهاده المبني على قوانين علم ونظر فإن هذا القائل على هذه الصفة ليس قائلا بمجرد رأيه
“Rasulullah Saw pernah berkata, ‘Siapa pun yang berbicara tentang Al-Quran berdasarkan pendapat pribadinya dan ternyata ia benar, maka dia telah keliru.’ Ini berarti seseorang harus bertanya tentang makna dalam kitab Allah, namun tidak boleh menyimpulkan berdasarkan pendapat pribadi tanpa mempertimbangkan apa yang telah dikatakan oleh para ulama atau yang sesuai dengan hukum ilmu pengetahuan seperti tata bahasa. Hal ini tidak berarti para ahli tafsir tidak boleh menjelaskan bahasa Al-Qur’an atau para fuqaha tidak boleh memberikan pemahaman maknanya berdasarkan ijtihad mereka yang didasarkan pada hukum ilmu pengetahuan dan pemikiran, karena orang yang berbicara dengan karakteristik seperti ini bukan hanya berbicara berdasarkan pendapat pribadinya semata.”