Ikhbar.com: Satu dari al-kulliyyat al-khams atau lima pokok dari maqasid al-syariah (tujuan syariat Islam) yang wajib dilakukan umat Muslim adalah hifz al-nasl (menjaga nasab/keturunan). Aspek ini sangat penting lantaran memiliki implikasi keperdataan anak dengan keluarganya.
Imam Ibn Mandzur dalam kamus Lisan Al-Arab menjelaskan, nasab berasal dari bahasa Arab, “nasaban,” yang merupakan derivasi dari “nasaba-yansibu-nasaban.” Maknanya, bisa kerabat, keturunan, atau menetapkan keturunan.
Terdapat perbedaan di antara ulama tafsir terkait definisi nasab tersebut. Imam Al-Ragib Al-Asfahani, misalnya, dalam Mu’jam Mufradat al-Faz Al-Qur’an mengartikannya sebagai isytirak min jihhah ahad al-abawain atau persekutuan, hubungan, keterkaitan antara anak dengan salah satu dari kedua orang tuanya.
Sedangkan Imam Ibnu Kasir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azim mengartikan nasab sebagai hubungan turun-temurun yang membentuk keluarga lewat hubungan perkawinan.
Sementara, Syekh Mutawalli As-Sya’rawi dalam Tafsir Sy’rawi menegaskan bahwa nasab seseorang hanya berasal dari jalur pria.
Baca: Twitter Ganti Logo, Bagaimana Cara Menulis Huruf ‘X’ dalam Bahasa Arab?
Nasab menurut Al-Qur’an
Setidaknya, kata “nasab” ditemukan sebanyak tiga kali di dalam Al-Qur’an. Yakni pada QS. Al-Mu’minun: 101, QS. Al-Furqan: 54, dan QS. As-Shaffat: 158.
Meski demikian, para ulama tafsir banyak merujuk QS. Al-Furqan: 54 ketika membedah soal nasab. Allah Swt berfirman:
وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ مِنَ الْمَاۤءِ بَشَرًا فَجَعَلَهٗ نَسَبًا وَّصِهْرًاۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا
Dialah (pula) yang menciptakan manusia dari air (mani). Lalu, Dia menjadikannya (manusia itu mempunyai) keturunan dan muṣāharah (persemendaan). Tuhanmu adalah Maha Kuasa.“
Syekh Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir menafsirkan, kata “nasab” dalam ayat tersebut berarti hubungan kelahiran dan hubungan-hubungan yang terbentuk darinya seperti hubungan dengan ayah, ibu, kekek, anak, saudara, paman dan keturunannya.
“Sedangkan makna ‘shihran’ pada ayat tersebut adalah hubungan antara suami dan keluarga istrinya yang terbentuk dari pernikahan, serta hubungan antara istri dan keluarga suaminya, dan juga hubungan antara keluarga suami dan keluarga istri,” jelasnya.
Secara gamblang, ayat di atas menegaskan, hubungan nasab dan penisbatan anak kepada ayah hanya bisa terjadi dengan sebab pernikahan. Dengan kata lain, anak hasil ‘hubungan gelap’ tidak bisa dinisbatkan kepada garis keturunan ayah. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut:
قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا ” لأهل أمه من كانوا
Nabi Muhammad Saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya …” (HR. Abu Dawud).
Baca: Al-Qur’an Merevolusi Nilai Perempuan
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh menjelaskan, tetapnya nasab seorang anak kepada ibunya dikarenakan wiladah (kelahiran) baik secara syariat maupun tidak.
Pentingnya menjaga nasab
Suatu waktu, Rasulullah Saw berinisiatif untuk menjadikan Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat yang akan dinasabkan kepadanya. Kemudian, Allah Swt pun mengingatkan Nabi dengan QS. Al-Ahzab: 4-5.
مَا جَعَلَ اللّٰهُ لِرَجُلٍ مِّنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهٖ ۚوَمَا جَعَلَ اَزْوَاجَكُمُ الّٰـِٕۤيْ تُظٰهِرُوْنَ مِنْهُنَّ اُمَّهٰتِكُمْ ۚوَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ. اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
“Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya, Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia pun tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Itulah yang adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Syekh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir menjelaskan penggalan ayat “wa mā ja‘ala ad‘iyā’akum” dengan “dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu” berarti bahwa Allah tidak menjadikannya sebagai anak yang sesungguhnya atau secara syariat. Ia menyebut bahwa makna “ad’iya” adalah anak angkat.