Ikhbar.com: Mengucap dan menjawab salam merupakan anjuran bagi seorang Muslim saat berjumpa dengan sesama. Namun, bagaimana ketika berjumpa dengan umat beragama lainnya?
Di dalam Al-Qur’an, salah satu ayat yang menyinggung tentang etika pengucapan salam ialah QS. An-Nisa: 86. Allah Swt berfirman:
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya atau balaslah dengan yang sepadan. Sesungguhnya Allah Maha Memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 86)
Redaksi salam
Dalam Tafsir Al-Misbah, Prof. KH Quraish Shihab menjelaskan, sebelum Islam datang, masyarakat jahiliyah juga kerap mengucapkan salam kepada sesama. Mereka melafalkannya dengan ucapan “Hayyakallah” yang bermakna “Semoga Tuhan memberikan untukmu kehidupan.”
“Dari sinilah tahiyyah (salam penghormatan) dipahami dengan mengucapkan salam sebagaimana umumnya. Namun, ketika Islam datang, pengucapan salam itu diubah menjadi ‘Assalamualaikum’ dan alangkah lebih baik jika ditambah dengan ‘Warahmatullahi wabarakatuh,” tulis Prof. Quraish.
Imam Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menyebutkan ada dua tingkatan dalam salam. Pertama, tingkatan paling rendah, yakni membalas salam yang sepadan dengan salam yang ia dapatkan. Kedua, tingkatan paling tinggi, yakni membalas salam secara lengkap.
Sementara Syekh Hasby Ash-Shiddiqy dalam Tafsir An-Nur mengatakan, salam yang baik bukan berarti harus menambahkan lafal yang tidak pernah diajarkan Rasulullah Muhammad Saw. Hal itu, seperti penambahan lafal “Ta’ala” pada “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi ta’ala wa barakatuh.”
Ketimbang menambahkan lafal, lanjut Syekh Ash-Shiddiqy, lebih baik memperindahnya dengan tindakan ketika mengucapkan salam. Misalnya diucapkan dengan nada yang lebih sopan ataupun gerakan yang menunjukkan rasa hormat.
Baca: Musuh Islam Adalah Kezaliman
“Oang yang mengucapkan salam juga dianjurkan memberikan rasa aman kepada orang lain,” tulisnya.
Mengucap salam kepada penganut agama lain
Saat menjelaskan ayat tersebut, Imam Ath-Thabari dalam Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menyebut bahwa sahabat Ibnu Abbas membolehkan menjawab salam sekali pun datang dari orang Majusi atau selain ahlul kitab.
“Barang siapa yang mengucapkan salam kepadamu maka jawablah walaupun seorang Majusi.”
Sedangkan Syekh Ash-Siddiqy menegaskan, seorang Muslim diperbolehkan memberi salam kepada non-Muslim, begitu juga menjawabnya.
“Tidak ada yang salah dalam memberikan salam penghormatan kepada orang lain, terlepas dari latar belakang suku, ras, bahkan agama. Sebab dalam perkatan salam terkandung doa keselamatan kepada orang yang diberi salam,” jelasnya.
Pendapat senada juga diungkapkan Prof. KH Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka alam Tafsir Al-Azhar. Dengan mengutip sejumlah hadis tentang menjawab salam kepada ahlul kitab, Buya Hamka mengatakan tidak ada larangan bagi seorang Muslim menjawab salam umat non-Muslim dengan kalimat yang sama.
“Hanya saja dalam kondisi perang, orang Muslim dilarang memberi salam terlebih dahulu. Sebab hal itu menunjukkan bahwa mereka mengajak berdamai,” tegas Buya Hamka.