Ikhbar.com: Orang tua memiliki peran penting dalam mengawal tumbuh kembang anak. Mereka punya tanggung jawab untuk mewujudkan predikat buah hati sebagai perhiasan dan kebanggaan sesuai dengan penjelasan Al-Qur’an.
Selain sosok ibu, ayah juga menjadi penopang dalam menentukan karakter anak di masa depan. Setidaknya ada tiga amanat Al-Qur’an bagi ayah agar senantiasa mewujudkan perannya dalam pengasuhan anak:
Menyampaikan wasiat Islam
Amanat pertama yang ditanggung seorang ayah ialah keharusan menuntun putra-putrinya untuk lebih dekat dengan Islam. Hal itu seperti yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah 132-133. Allah Swt berfirman:
وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ . اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
“Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, ‘Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.’ Apakah kamu (hadir) menjadi saksi menjelang kematian Ya‘qub ketika dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu: Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan (hanya) kepada-Nya kami berserah diri.”
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azim menekankan, pengaruh seorang ayah dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya akan memberikan beragam pemahaman dan pengalaman kepada mereka. Menurutnya, ayahlah yang sangat bertanggungjawab dalam mengenalkan dan membimbing seorang anak kepada tuntunan agama Islam.
Baca: Lakukan Ini jika Anak Ingin Sukses
Begitu juga menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir. Ia mengatakan, sosok Nabi Ibrahim As dan Nabi Yakub As adalah prototipe kebijaksanaan seorang ayah yang menghendaki kebaikan untuk anaknya, sehingga keduanya sama-sama berwasiat, “Ikutilah agama Islam ini.”
Syekh Az-Zuhaili juga menegaskan, pelajaran yang dapat diambil dari wasiat Nabi Ibrahim dan Nabi Yakub dalam ayat tersebut ialah tentang tauhid. Ajaran soal ke-Esa-an Allah itulah yang penting dikenalkan sejak dini kepada anak.
“Pada dasarnya seorang ayah memiliki kewajiban untuk memahami Islam. Jika pun tidak, seorang ayah berkewajiban menemani dan membimbing anaknya agar belajar keislaman kepada guru-guru yang berkompeten,” jelas Syekh Al-Zuhaili.
Memberikan kasih sayang
Seorang ayah juga harus memberikan kasih sayang kepada anaknya. Pendapat tersebut berdasarkan ayat-ayat yang mengandung kalimat “Yaa bunayya (Wahai anakku).” Misalnya, QS. Hud: 42. Allah Swt berfirman:
وَهِيَ تَجْرِيْ بِهِمْ فِيْ مَوْجٍ كَالْجِبَالِۗ وَنَادٰى نُوْحُ ِۨابْنَهٗ وَكَانَ فِيْ مَعْزِلٍ يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ
“Bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung-gunung. Nuh memanggil anaknya, sedang dia (anak itu) berada di tempat (yang jauh) terpencil, ‘Wahai anakku, naiklah (ke bahtera) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.”
Menurut Syekh Wahbah Al-Zuhaili, ayat tersebut menjelaskan peristiwa badai besar yang melibatkan Nabi Nuh. Saat itu, Nabi Nuh memanggil semua umatnya untuk menaiki kapal, termasuk anaknya bernama Kan’an yang tidak beriman kepadanya. Meskipun akhirnya Kanan tidak menghiraukan seruan ayahnya itu.
Namun, dalam frasa ayat tersebut, Nabi Nuh As tetap memanggilnya dengan lemah lembut dan mesra melalui kalimat “ya bunayya.” Artinya, Nabi Nuh tidak pernah bosan mendidik anaknya sampai ia dijemput ajal. Sekalipun Kan`an durhaka, ia tidak pernah terbesit untuk meninggalkan anaknya.
Senada dengan itu, Prof. KH Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan, ayat tersebut menunjukkan betapa naluri manusia begitu cinta kepada anaknya meskipun sang anak durhaka. Meski anaknya durhaka melupakan kebaikan dan ketulusan orang-tuanya, Nabi Nuh tetap menyeru anaknya dengan panggilan “bunayya.”
“Kata ‘bunayya‘ adalah bentuk tashghir atu perkecilan dari kata ‘ibni’ (anakku). Bentuk itu antara lain digunakan untuk menggambarkan kasih sayang karena kasih sayang biasanya tercurah kepada anak, apalagi yang masih kecil. Kesalahan-kesalahannya pun ditoleransi, paling tidak atas dasar ia dinilai masih kecil. Perkecilan itu juga digunakan untuk menggambarkan kemesraan, seperti antara lain ketika Nabi Muhammad Saw menggelari salah seorang sahabat beliau dengan nama Abu Hurairah,” jelas Prof. Quraish.
Baca: Anak Menurut Al-Qur’an, dari Perhiasan hingga Musuh
Bertanggung-jawab
Salah satu bentuk tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya tergambar dalam QS. Qashash: 26-27. Dalam ayat itu, Nabi Syuaib As menyiapkan dengan matang masa depan bagi anak perempuannya. Ia merencanakan masa depan yang baik dengan menikahkannya dengan lelaki yang memiliki potensi, baik lahir maupun batin.
قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖاِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ. قَالَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ عَلٰٓى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ حِجَجٍۚ فَاِنْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَۚ وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
“Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, ‘Wahai ayahku, pekerjakanlah dia. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Dia (ayah kedua perempuan itu) berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun. Jika engkau menyempurnakannya sepuluh tahun, itu adalah (suatu kebaikan) darimu. Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”
Menurut Sayyid Quthub dalam Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an, Nabi Syuaib merasakan adanya kecenderungan fitrah yang lurus untuk membangun keluarga antara anaknya dan Nabi Musa. Oleh karena itu, ia mengajukan kepada Nabi Musa agar menikahi salah seorang anak perempuannya dengan mahar berupa jasa menggembalakan ternak.