Ikhbar.com: Pemilihan umum (Pemilu) sering disusul dengan isu mengenai hukum bersuci dengan tinta pemilu di jari pemilih. Pasalnya, hal itu berkaitan dengan salah satu syarat bersuci, yaitu mengharuskan tidak adanya benda yang menghalangi air mengalir ke anggota tubuh untuk wudu dan mandi wajib, termasuk tinta dan sejenisnya.
Syekh Zainudin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in Syarah Qurratil ‘Ain bi Muhimmat ad-Din menerangkan sebagai berikut:
ورابعها: أن لا يكون على العضو حائل بين الماء والمغسول كنورة وشمع ودهن جامد وعين حبر وحناء بخلاف دهن جار أي مائع وإن لم يثبت الماء عليه وأثر حبر وحناء
“Keempat, bahwa tidak boleh ada yang menghalangi antara air dan bagian tubuh yang dibersihkan, seperti lilin, semir, minyak padat, bekas tinta, dan henna, kecuali jika itu adalah minyak yang cair dan air tidak menempel padanya, serta bekas tinta dan henna.”
Baca: Mengapa Hasil tak Sesuai Harapan dan Doa? Ini Penjelasan Imam Al-Ghazali
Tidak mengandung najis
Demi memperjelas kedudukan tinta pemilu dalam konteks ini, maka penting untuk meninjau kandungannya, apakah komposisinya suci atau najis.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 14 Tahun 2023, tinta yang digunakan dalam pemilu disyaratkan harus aman bagi pemakainya, tidak menimbulkan iritasi atau alergi pada kulit, serta telah memiliki sertifikat dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
PKPU telah menentukan jenis tinta yang akan digunakan dibuat dari bahan sintetis atau kimia, serta bahan alami. Bahan kimia ini terdiri dari perak nitrat (AgNO3), dengan kandungan sekitar 3% hingga 4%, aquades, gentian violet, dan campuran bahan lainnya. Sementara itu, bahan alami meliputi gambir, kunyit, getah kayu, dan sejumlah bahan campuran lainnya.
Dalam penjelasannya, PKPU juga mengatur bahwa tinta yang digunakan harus telah melalui uji komposisi bahan baku dari laboratorium yang terakreditasi, serta memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain itu, tinta juga harus memiliki daya tahan paling kurang enam jam.
Baca: Zuhud Pemilu, Siap Menang Siap Kalah
Ikhtiar membersihkan tinta
Syekh Nawawi Banten dalam Nihayatuz Zein menegaskan bahwa, jika suatu benda dicelup dengan pewarna yang mengandung najis, dan setelah dicuci hingga bersih hanya tersisa warnanya, maka benda tersebut dihukumi suci. Hal ini juga diperkuat dengan pandangan ulama lain, seperti yang diungkapkan oleh Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki.
Imam Nawawi berpendapat bahwa, jika seseorang telah berusaha menghilangkannya, tetapi masih tersisa warnanya pada permukaan kulit, maka hal itu tidak dianggap madarat. Dalam karyanya, Al-Majmu’, Imam Nawawi menjelaskan:
إذا كان على بعض أعضائه شمع أو عجين أو حناء وأشباه ذلك فمنع وصول الماء إلى شيء من العضو لم تصح طهارته سواء أكثر ذلك أم قل, ولو بقي على اليد وغيرها أثر الحناء ولونه دون عينه أو أثر دهن مائع بحيث يمس الماء بشرة العضو ويجري عليها لكن لا يثبت صحت طهارته
“Jika ada lilin, adonan, hena, atau benda-benda serupa yang dapat menghalangi air untuk mencapai bagian-bagian tubuh, maka hal itu bisa menyebabkan wudunya tidak sah, baik sedikit maupun banyak. Akan tetapi, jika masih terdapat bekas-bekas hena atau zat sejenisnya hanya berupa warna, bukan bentuknya, atau bekas-bekas lemak cair yang memungkinkan air menyentuh kulit bagian tubuh dan mengalir, tetapi tidak melekat, maka wudunya dianggap sah.”
Dengan demikian, pemilih dapat melaksanakan salat setelah mencoblos tanpa harus khawatir tentang kesucian salat yang dilakukan dengan tinta pemilu di jari.