Hukum Rayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam

Terlepas dari perbedaan pendapat di dalamnya, pergantian tahun dapat dimaknai sebagai momen introspeksi diri.
Kembang api pada perayaan malam tahun baru. PIXABAY/Tom Hill

Ikhbar.com: Pergantian tahun selalu menjadi momen yang dirayakan banyak orang di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Tahun baru Masehi, yang berakar pada kalender Gregorian rumusan Julius Caesar dan disempurnakan Paus Gregorius XIII, kini menjadi penanda waktu universal yang diadopsi hampir seluruh negara.

Tradisi merayakan tahun baru sering kali diisi dengan berkumpul bersama keluarga, menikmati pemandangan kembang api, atau membuat resolusi hidup. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap perayaan ini?

Baca: Akhir Tahun, Baca Doa Introspeksi Diri Ini

Dua kutub pandangan ulama

Dalam Islam, perayaan tahun baru memunculkan diskusi hangat. Sebagian ulama melihatnya sebagai bagian dari tradisi sosial yang netral, sementara yang lain mengkhawatirkan adanya potensi pelanggaran syariat.

Para ulama terkemuka Al-Azhar, Mesir, salah satunya Syekh Athiyyah Shaqr memandang bahwa perayaan tahun baru bukan merupakan masalah jika tidak disertai kemaksiatan. Tradisi seperti berkumpul bersama keluarga atau menyampaikan harapan baik dianggap sebagai bentuk muamalah yang diperbolehkan.

Dalam Wizarah Al-Auqaf al-Mishriyyah, Syekh Shaqr berpendapat:

“Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum, dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak,” tulisnya.

Pandangan tersebut senada dengan Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam Mafahim Yajibu An Tushahhah. Ia mengungkapkan bahwa peringatan tersebut semata-mata adalah tradisi yang tidak berkorelasi dengan agama, sehingga tidak relevan untuk dikategorikan dalam syariat.

Ungkapan seperti “Happy New Year” juga dianggap netral oleh beberapa ulama. Syekh Ibn Hajar Al-Haitami dari mazhab Syafi’i dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj menilai bahwa ucapan selamat tersebut hanyalah bentuk basa-basi sosial yang tidak merusak akidah, asalkan tidak disertai niat mendukung kepercayaan yang bertentangan dengan Islam.

Pandangan ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam merespons fenomena sosial, selama tidak bertentangan dengan prinsip akidah.

Baca: Menyoroti Pesta Halloween di Negeri Muslim

Di lain pihak, sebagian ulama menganggap perayaan tahun baru sebagai bentuk “tasyabbuh” atau menyerupai tradisi non-Muslim yang dilarang. Pendapat merujuk pada hadis Rasulullah Muhammad Saw yang melarang umatnya menyerupai kaum/golongan lain.

Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).

Pendapat tersebut juga berbasis pada kekhawatiran bahwa perayaan tahun baru dapat mengikis identitas keislaman, dan berpotensi mendorong perilaku yang bertentangan dengan syariat, seperti konsumtif, hedonis, atau bahkan maksiat.

Baca: Beda Penentuan Kalender Hijriah hingga Mengusap Kepala Anak Yatim menurut Kiai Wawan Arwani Amin

Pergantian tahun momen introspeksi

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, pergantian tahun dapat dimaknai sebagai momen introspeksi. Refleksi diri adalah bagian penting dalam ajaran Islam, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Hasyr: 18, yang mengingatkan setiap Muslim untuk bertakwa dan memperhatikan amal perbuatannya sebagai bekal untuk hari esok.

Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ḥasyr: 18).

Baca: Tafsir QS. Al-Hasyr Ayat 18: Perintah Muhasabah

Seorang sahabat Nabi Saw bernama Abu Darda’ juga memberikan nasihat yang relevan, bahwa setiap hari yang berlalu adalah kesempatan untuk mengambil pelajaran dan memperbaiki diri sebelum ajal tiba.

Dengan demikian, merayakan tahun baru bisa menjadi momen yang bermanfaat jika diisi dengan hal-hal positif, seperti mempererat hubungan keluarga, memperbaiki hubungan sosial, dan meningkatkan ibadah.

Selama perayaan dilakukan dengan cara yang sesuai syariat, seperti menghindari maksiat dan kesia-siaan, maka hukumnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.